Oleh : Teguh Iman Affandi
Dari era kepemimpinan Presiden Soekarno, Indonesia telah memperingati Hari Nelayan Nasional yang dirayakan tiap 6 April. Tujuannya, sebagai bentuk apresiasi atas jasa kelompok nelayan dalam menyediakan nutrisi bagi masyarakat. Lantas, bagaimana nasib nelayan saat ini?
Pada laman Kompas.id, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memperlihatkan tren kenaikan volume produksi ikan tangkap pada rentang tahun 2015 – 2020. Pada tahun 2015, volume produksi perikanan laut berada pada angka 6,21 ribu ton dengan nilai 110 triliun rupiah. Angka ini naik sebesar 15% dalam lima tahun berikutnya menjadi 7,13 ribu ton dengan nilai 208,6 triliun rupiah.
Namun, kebijakan KKP menerapkan PP Nomor 85 Tahun 2021 dinilai memberatkan kelompok nelayan. Dalam peraturan tersebut, tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang dibebankan kepada kelompok nelayan naik sebesar 5 – 10% dari hasil tangkapan.
Pemerintah memang kerap menaikkan tarif PNPB kepada nelayan. Bila ditilik sejak tahun 2002, melalui PP Nomor 62 Tahun 2002, kategori kapal kurang dari 60 GT dikenakan tarif PNBP sebesar 1 %. Lalu, dalam PP Nomor 75 Tahun 2015, pemerintah menaikkan tarif PNBP untuk kapal kecil berukuran 30 – 60 GT menjadi 5%. Di tahun 2021, jenis kapalnya diperluas, untuk kapal ukuran 5 – 60 GT harus membayar tarif PNBP sebesar 5% dari hasil tangkapan.
Persoalan baru muncul manakala kenaikan tarif tidak dibarengi dengan pembenahan oleh KKP terkait penerapan dan control atas aturan Harga Patokan Ikan (HPI). Situasinya, HPI di tiap daerah berbeda-beda. HPI yang ditentukan KKP jauh melebihi harga di level pasar. Padahal dari HPI-lah tarif PNBP dihitung. Nilai HPI dari KKP yang lebih mahal daripada harga pasar menyebabkan PNPB yang mesti dibayarkan nelayan menjadi besar, sementara hasil penjualan dari pasar tidak seberapa. Hal ini membuat kehidupan nelayan makin sulit.
Isu lain yang cukup menarik sorotan publik, adalah sistem penangkapan ikan secara kontrak. Pemerintah mengundang sektor swasta untuk mengekploitasi sumber daya perikanan di wilayah perairan negara. Jajak Pendapat Kompas menyebut ada 53,3% respon publik yang menilai kebijakan sistem kontrak ini akan makin membuat nelayan kecil menderita karena kalah bersaing dengan pihak swasta.
Dalam survei tersebut, ada tiga saran dari publik mengenai prioritas utama pemerintah untuk memajukan hasil laut. Pertama adalah memberikan bantuan modal bagi nelayan tradisonal. Kedua, melakukan pengawasan ketat terhadap kapa lasing. Ketiga, membangun infrastruktur yang memadai bagi nelayan dan pengusaha perikanan.