Sejak tahun 1997, Kaoem Telapak telah secara aktif bekerja untuk mengatasi pembalakan liar dan melindungi hutan hujan Indonesia dan keanekaragaman hayati, mempromosikan perlindungan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal, dengan melibatkan para pemangku kepentingan (lembaga pemerintah, komunitas-komunitas terdampak, organisasi masyarakat sipil dan lembaga penegak hukum) untuk memperkuat tata kelola hutan dan lahan di Indonesia.
Terlepas dari kemajuan yang telah dicapai sejak desentralisasi di tahun 2001 dimana Pemerintah Pusat tidak lagi memegang kekuasaan absolut seperti pada masa Soeharto, hal tersebut juga tetap membawa masalah karena implementasi yang tidak efektif yang diakibatkan oleh korupsi yang merajalela, peraturan yang tumpang tindih, penegakan hukum yang lemah, kurangnya transparansi, dan partisipasi publik yang terbatas.
Terkait hal ini, Kaoem Telapak telah dan akan terus bekerja untuk melindungi hutan yang tersisa, memerangi deforestasi dan kejahatan kehutanan lainnya, serta mendorong penguatan berbagai regulasi nasional melalui pelibatan publik secara aktif.
Sejak tahun 1997, Kaoem Telapak telah secara aktif memerangi penebangan liar di seluruh Indonesia dan merupakan salah satu organisasi yang memperkenalkan istilah “pembalakan liar” kepada publik. Advokasi ini menggabungkan investigasi lapangan, penelitian ekstensif dan analisis data dengan kampanye publik yang aktif.
Di tahun 2001, upaya tanpa henti Kaoem Telapak berhasil melindungi Ramin (Gonystylus bancanus) dengan memasukkannya ke dalam Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora).
Pada tahun 2005, laporan Kaoem Telapak tentang aktivitas penebangan kayu ilegal di Papua Barat berperan penting dalam mendorong respon Pemerintah Indonesia yang kemudian meluncurkan Operasi Hutan Lestari II – operasi resmi terbesar yang pernah ada untuk memerangi deforestasi yang disebabkan oleh pembalakan liar.
Sejak pertengahan tahun 2000-an, Kaoem Telapak aktif membangun jaringan dengan berbagai organisasi lokal, kelompok Masyarakat Adat dan komunitas lokal, dan individu-individu yang memiliki aspirasi dan tujuan yang sama untuk melindungi hutan dan keanekaragaman hayati, memerangi deforestasi dan kejahatan kehutanan, serta melindungi hak-hak Masyarakat Adat dan komunitas lokal.
Pada tahun 2010, Kaoem Telapak ikut memprakarsai pendirian jaringan pemantauan hutan independen pertama di Indonesia. Dilanjutkan dengan pelatihan peningkatan kapasitas secara berkala di tingkat nasional dan daerah, dan merancang modul pelatihan mengenai pemantauan hutan.
Tahun 2022, bekerja sama dengan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Kaoem Telapak memperluas jaringan independen pemantau hutan dengan memprioritaskan jangkauannya kepada pemuda-pemudi adat di lokasi-lokasi yang terancam ekspansi perkebunan skala besar, pertambangan, dan proyek-proyek infrastruktur lainnya.
Kaoem Telapak meyakini bahwa mengadvokasi undang-undang mengenai tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang kuat di tingkat nasional merupakan bagian integral untuk memerangi penebangan liar dan kejahatan kehutanan lainnya. Di tahun 2021, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya di Indonesia, Kaoem Telapak mengajukan uji materi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (PP-TPPU) ke Mahkamah Konstitusi RI.
Uji materi tersebut terkait sempitnya penafsiran mengenai pengertian penyidik dalam bagian Penjelasan Pasal 74 UU PP-TPPU. Tidak melibatkan penyidik sipil dan membatasi wewenang penyidikan hanya kepada beberapa lembaga penegak hukum, menurut Kaoem Telapak tidak akan maksimal dalam upaya untuk memerangi kejahatan pencucian uang, khususnya di sektor kehutanan.
Pada Juli 2021, Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi serupa yang diajukan oleh penyidik dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang memutuskan bahwa semua penyidik sipil juga memiliki kewenangan untuk menyelidiki tindak pidana pencucian uang.
Pada tahun 2003, inisiatif untuk memerangi penebangan liar dengan mempromosikan kayu legal dimulai di Indonesia. Pada September 2009, peraturan tersebut disahkan dan dikenal dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang bertujuan untuk menjamin kayu dan produk kayu berasal dari sumber yang legal. Kaoem Telapak secara aktif terlibat dalam proses penyusunan regulasi dan menjadi aktor kunci selama berlangsungnya proses konsultasi sebagai perwakilan masyarakat sipil dan pemantau hutan independen di Indonesia. Setelah SVLK disahkan, Kaoem Telapak secara aktif terus memantau penerapannya bersama dengan jaringan pemantau hutan independen, dan secara kritis memberikan masukan untuk memperkuat peraturan tersebut.
Di tahun 2020, bersama kelompok masyarakat sipil lainnya di Indonesia, Kaoem Telapak mengirimkan surat terbuka kepada Presiden terkait Permendag No.15 Tahun 2020 yang menghapus kewajiban penggunaan dokumen V-Legal sebagai syarat ekspor produk kehutanan. Presiden kemudian mencabut peraturan tersebut karena reaksi negatif dari berbagai pihak.
Pada Juni 2009, melalui konsultasi berbagai pemangku kepentingan dimana Kaoem Telapak berperan aktif selama berlangsungnya proses tersebut, SVLK ditingkatkan melalui penambahan aspek berkelanjutan sebagai salah satu persyaratan wajibnya.
Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan – Perjanjian Kerjasama Sukarela Kemitraan (FLEGT-VPA)
Sejak negosiasi VPA diinisiasi dimulai di tahun 2007, Kaoem Telapak menjadi bagian dengan ikut terlibat dalam proses konsultasi serta terus melakukan kampanye secara aktif agar upaya memerangi pembalakan liar menjadi tanggungjawab semua pihak terkait. Saat FLEGT-VPA yang merupakan kesepakatan hukum antara Indonesia sebagai negara produsen penghasil kayu dan produk kehutanan dengan Uni Eropa sebagai negara konsumen disepakati pada September 2013, Kaoem Telapak ikut terlibat mendorong percepatan implementasi di dalam negeri yang ditandai melalui ratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada 27 Februari 2014. Hingga saat ini, Kaoem Telapak masih terus melanjutkan advokasinya melalui pemantauan terhadap implementasi FLEGT-VPA agar mencapai tujuannya untuk menghentikan pembalakan liar dan membersihkan rantai pasok dari produk kayu ilegal.
Sejak diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia, Kaoem Telapak melihat ISPO sebagai peluang untuk memperbaiki tata kelola industri kelapa sawit di dalam negeri. Pada tahun 2017, Kaoem Telapak terlibat dalam konsultasi proses revisi ISPO dan secara kritis menyoroti tentang absennya mekanisme PADIATAPA (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan), aspek ketertelusuran dan transparansi, mengusulkan pemantauan independen terkait proses implementasi sertifikasi, dan bagaimana sertifikasi seharusnya bersifat wajib bagi petani kecil independen.
Pada bulan September 2018, Kaoem Telapak menyurati Presiden Indonesia, meminta untuk menunda penandatangan ISPO baru karena dinilai terlalu lemah. Bersama kelompok dan organisasi masyarakat sipil lainnya di Indonesia, Kaoem Telapak ikut menginisiasi koalisi untuk mendukung moratorium izin perkebunan kelapa sawit yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 19 September 2019. Koalisi ini menyatakan kekecewaannya ketika moratorium tidak diperpanjang oleh Presiden saat berakhir di tahun 2021.
Kaoem Telapak juga terus melakukan berbagai studi dan investigasi lapangan terkait lemahnya implementasi ISPO sebagai kontribusi aktif untuk memperkuat sistem sertifikasi kelapa sawit ini.
Sejak 2017, Kaoem Telapak terlibat secara aktif dalam koalisi nasional yang mendorong pengesahan UU Masyarakat Adat di Indonesia. Selain itu, Kaoem Telapak juga terus melakukan edukasi publik dan kampanye mengenai pentingnya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak Masyarakat Adat.
Koalisi nasional ini juga terlibat secara aktif menolak pengesahan UU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang menurut Kaoem Telapak merupakan praktik deregulasi yang memukul mundur berbagai capaian positif yang telah dicapai selama ini di sektor sumber daya alam dan lingkungan. Kaoem Telapak juga berpandangan bahwa Omnibus Law mengakibatkan penyempitan ruang demokrasi.
Sebagai salah satu negara utama penghasil komoditi-komoditi yang berisiko deforestasi, Kaoem Telapak meyakini bahwa suara dan aspirasi dari kelompok terdampak – IPLC dan petani kecil di Indonesia – di negara produsen perlu didengar oleh para pengambil keputusan dan negosiator. Bersama organisasi masyarakat sipil lainnya di Indonesia, Kaoem Telapak aktif memantau perkembangan IEU-CEPA (Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif antara Indonesia and Uni Eropa), memprakarsai dan memimpin koalisi nasional masyarakat sipil Indonesia terkait EUDR (Peraturan Uni Eropa terkait produk Bebas Deforestasi) dan secara aktif mengikuti perkembangan regulasi berbasis pasar lainnya seperti UKTR (Regulasi Komoditi Kayu di Inggris) dan EU-CSDDD (Petunjuk Uji Tuntas Bagi Badan Usaha di Uni Eropa).
Food Estate merupakan proyek strategis nasional yang ditujukan untuk memastikan stok pangan di Indonesia. Namun, proyek tersebut berpotensi menyebabkan deforestasi yang mengancam sebagian besar hutan yang tersisa demi mencapai tujuannya. Merespon hal tersebut, sejak tahun 2020 Kaoem Telapak telah aktif terlibat dalam pemantauan dan penelitian terkait dampak buruk proyek Food Estate di Humbang Hasundutan Sumatera Utara terhadap hutan dan kelompok Masyarakat Adat dan komunitas lokal. Di tingkat nasional, Kaoem Telapak juga terlibat dengan kelompok masyarakat sipil lainnya yang juga memantau proyek Food Estate di daerah lainnya.
adalah Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang berperan aktif dalam dalam pemantauan, pendampingan, dan mendorong perbaikan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Alamat. Jalan Sempur No.5 RT.01 RW.01 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. 16129, Indonesia
Telp. (+62) 251-8576-443 | Email. kaoem@kaoemtelapak.org
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.