Oleh : Teguh Iman Affandi
Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan Putusan Nomor 91 Tahun 2021 yang isinya membekukan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK). Meski begitu, Pemerintah tetap percaya diri menerapkan regulasi kontroversial tersebut.
“Pemerintah hanya fokus pada amar putusan yang menguntungkan bagi dirinya,” kata Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, Guru Besar Hukum Agraria dari Universitas Gajah Mada, pada diskusi Kaoem Telapak bertajuk “Salah Tafsir Putusan MK 91/2020 : Dua Wajah UUCK” pada Rabu, 6 April 2022.
Prof. Maria menjelaskan, Pemerintah hanya fokus pada amar putusan nomor empat, yang menyebut, UUCK masih berlaku sampai dilakukan perbaikan dengan tenggang waktu dua tahun. Padahal amar putusan nomor empat, telah dimatikan dengan adanya amar putusan nomor tiga yang berbunyi, UUCK bertentangan konstitusi UUD 1945.
“Artinya, UUCK itu lembarnya ada tapi tidak punya daya ikat,” lanjut Prof Maria. Lalu, Guru Besar UGM ini menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak bisa menghapus produk undang-undang karena bukan kewenangannya.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi, Feri Amsari, LLM menjelaskan mengapa Pemerintah tetap nekad menerapkan UUCK dan menyertakan regulasi kontrovesial ini dalam aturan pelaksana teknisnya yang membuat kebingungan publik.
“Ini karena, Pemerintah dan Menterinya, Airlangga Hartanto, terburu-buru pidato ke hadapan publik,” ujar Feri. Menurutnya, respon Pemerintah di level permukaan memang terlihat indah. Namun respon tersebut mencerminkan Pemerintah tidak paham konsep putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam pidato tersebut, Pemerintah menyebut akan berkomitmen mematuhi putusan dan mengapresiasi putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak membatalkan pasal-pasal dalam UUCK. “Ini kesalahan fatal sekali karena tidak memahami konsep uji formil” kata Feri.
Lalu dia menjelaskan kalau uji formil sudah dikabulkan, maka tidak perlu lagi ada uji materil. “Akan aneh sekali jika Mahkamah Konstitusi membatalkan pula pasal per pasal,” lanjut Feri.
Feri melihat ada gelagat kesengajaan dari pihak Pemerintah dalam pengabaian amar putusan Mahkamah Konstitusi demi memaksakan penerapan UUCK. “Dari awal presiden dan airlangga sudah dengan sengaja memberikan tafsir yang hanya menguntungkan pemerintah tanpa menyebut amar putusan poin lain,” ungkapnya.
Dalam diskusi, Prof. Maria dan Feri Amsari mengakui bahwa putusan Mahkamah Konstitusi memang tidak punya daya paksa untuk memastikan Pemerintah benar-benar menjalankan hasil putusan. Namun, menurut Prof. Maria, menjalani hasil putusan Mahkamah Konsititusi oleh Pemerintah merupakan bentuk kewajiban konstitusional dan moral.