
Oleh : Teguh Iman Affandi
Penyertaan entitas Bank Tanah dalam agenda Reforma Agraria melalui Undang-Undang Cipta Kerja menimbulkan banyak pertanyaan. “Lahirnya [bank tanah], kayak dipaksakan,” ungkap Profesor Maria Sumardjono, Guru Besar UGM, pada diskusi daring Kaoem Telapak bertajuk,”Salah Tafsir Putusan MK No. 91 Tahun 2020 : Dua Wajah UUCK” pada Rabu, 6 April 2021.
Prof. Maria menjelaskan bahwa awal mula bank tanah dari Rancangan Undang-Undang Pertanahan di tahun 2019 yang tiba-tiba saja muncul istilah itu dalam naskah rancangan itu. Para akademisi dan organisasi non-pemerintah yang mengawal RUU Pertanahan ini pun kaget, “Lho kok tiba-tiba bank tanah ini apa? Diselundupkan dalam RUU Pertanahan?” ungkap Prof Maria.
Para pihak pengusung RUU Pertanahan itu pun mempertanyakan, mengapa yang dipikirkan adalah bank tanah. “Lantas reforma agrarianya di mana?” kata Prof Maria. Setelah mendapat kritikan yang cukup pedas, maka tujuan-tujuan bank tanah ditempelkan dalam agenda reforma agraria. “Lho kok jadi aneh-aneh,” lanjutnya.
Prof. Maria menyimpulkan kelahiran bank tanah tidak diduga, tidak direncanakan, malah seperti dipaksakan. Bahkan, berdasarkan pengakuan Prof. Maria, penempelan bank tanah dalam RUU Pertanahan tidak didukung naskah akademik, “Penempelan itu sekedar reaktif bukan didesain, kenapa? Lha enggak ada naskah akademiknya,” aku Prof. Maria.
Lebih lanjut, Prof. Maria menjelaskan bahwa penempelan konsep bank tanah dalam agenda reforma agraria itu tidak kompatibel. Alasannya, paradigma yang dipakai dalam bank tanah dan reforma agraria itu berbeda. “Kalau bank tanah itu untuk mempermudah investor mendapat tanah, sementara reforma agraria itu restrukturisasi penguasaan serta kepemilikan tanah agar kesenjangan itu dipersempit. Itu ‘kan kayak siang dan malam, kalau dipaksakan ya tidak cocok.”
Kemudian, Prof. Maria menyoroti kontestasi antara bank tanah dengan reforma agraria. Menurutnya, kontestasi yang terjadi adalah perebutan aset tanah. Hal ini bisa dilihat dari PP No. 64 Tahun 2021. Ada tiga aspek kontestasi yang terjadi. Pertama dari persentasi ketersediaan tanah. Kedua, ketumpang-tidihan aset tanah. Ketiga, kerancuan peran dan fungsi lembanga bank tanah dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN)
Prof. Maria pun menyebut bahwa payung hukum reforma agraria ada di Peraturan Presiden, sedangkan bank tanah payung hukumnya adalah Peraturan Pemerintah. Jika ingin memperkuat agenda reforma agraria, maka yang diperlukan adalah meningkatkan status payung hukumnya reforma agrarian, dari Peraturan Presiden menjadi Peraturan Pemerintah.