Oleh : Anang Sidik
Pada November 2021 lalu Indonesia tengah melangsungkan perundingan negosiasi Indonesia – Uni Eropa CEPA ke-11. Uni Eropa merupakan tujuan ekspor dan mitra strategis bagi Indonesia, apalagi pada tahun 2020 nilai total perdagangan Indonesia – Uni Eropa mencapai 25,5 miliar dolar.

Masyarakat adat Dayak Kinipan
Perundingan yang berlangsung sejak tahun 2016 ini masih terkendala beberapa problem seperti bagaimana mengatasi pandemi COVID-19. Ditambah Komisi Uni Eropa saat itu tengah mengeluarkan beberapa kebijakan yang cenderung menghambat seperti European Green Deal, CBAM dan proposal regulasi uji tuntas produk bebas deforestasi (deforestation free product). Di sisi Indonesia, munculnya UU Cipta Kerja justru dijadikan momentum bagi pemerintah untuk menjadi daya ungkit terutama dalam meningkatkan akses pasar barang jasa, investasi dan peningkatan ekonomi.
Situs resmi Kementerian Perdagangan menyebutkan, kedua belah negara membahas 14 isu penting, yaitu perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi, kompetisi, ketentuan asal barang, hambatan teknis perdagangan, sanitasi dan fitosanitasi, instrumen pengamanan perdagangan, perdagangan dan pengembangan berkelanjutan, usaha kecil menengah, kerja sama ekonomi dan peningkatan kapasitas, pengadaan pemerintah, penyelesaian sengketa, serta transparansi dan good regulatory practice.
Salah satu isu penting yang perlu diperhatikan adalah perdagangan dan pengembangan berkelanjutan (trade and sustainable development). Isu tersebut perlu menjadi perhatian kritis karena terdapat tiga komoditas penting yang diatur seperti minyak nabati, kayu dan perikanan berkelanjutan. Sesuai dengan data terakhir bahwa komoditas andalan Indonesia ke Uni Eropa adalah minyak kelapa sawit dan pecahannya.
Perundingan perdagangan yang berdampak luas bagi publik seperti IEU CEPA perlu memperhatikan aspek sosial dalam kerangka atau mekanisme perundingan. Apalagi komoditas yang diatur dalam perjanjian memperlihatkan rantai suplai hingga ke tingkat komunitas terkecil. Perlu diperhatikan secara serius bagaimana aspek keberlanjutan dan mekanisme pengawasan terhadap misalnya, pelanggaran hak pekerja dan hak-hak masyarakat adat dalam lingkaran industri kelapa sawit. Baru-baru ini sebuah laporan menyebutkan bahwa konflik yang terjadi akibat ekpansi perkebunan kelapa sawit didominasi oleh penyerobotan lahan (land grabbing), mekanisme plasma bermasalah dan perkebunan yang melanggar regulasi.
Hal tersebut tentu menjadi perhatian bersama, terlebih Uni Eropa tengah meningkatkan standar yang tinggi melalui regulasi atau kebijakan-kebijakan tidak hanya untuk profit dan keberlanjutan lingkungan namun juga menjunjung asas-asas perlindungan hak asasi manusia.