Oleh: Teguh Iman Affandi
Di tengah kecamuk perang Rusia dengan Ukraina, harga bahan pangan melambung tinggi. Isu kedaulatan pangan pun mencuat di tengah percakapan masyarakat Indonesia.
“Secara konseptual, kedaulatan itu lebih pas diletakkan dalam konteks negara,” ungkap Yusuf Marguantara, pendiri Martani Indonesia. Lebih lanjut dia menjelaskan, salah satu unsur kedaulatan adalah kemandirian. “Martani ingin memberikan sumbangsih pada praktek kemandirian pangan,” kata Yusuf.

Yusuf Marguantara bersama Rita Mustikasari, anggota Kaoem Telapak,
merintis dan mengembangkan Martani Indonesia
Martani Indonesia didirikan Yusuf bersama Rita Mustikasari, anggota Kaoem Telapak, saat dia aktif di Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KKRP). Martani merupakan mandate KKRP. Artinya, Martani bercita-cita mewujudkan kedaulatan rakyat atas pangan. Martani mendorong penguatan pilar kedaulatan pangan, yakni; perdagangan yang adil, pertanian yang berkelanjutan, konsumsi pangan yang sehat, dan reforma agraria.
Selanjutnya Yusuf mendefinisikan kedaulatan pangan sebagai kemampuan negara untuk mencukupi kebutuhan pangan rakyatnya. Termasuk kemampuan memilih sumber pangan itu dari mana, baik itu memilih impor atau produksi sendiri. “Artinya, dalam memilihnya itu dia berdaulat,” kata Yusuf. Jika negara mengimpor bahan pangan hanya untuk dapat hutang luar negeri, bagi Yusuf, itu tandanya negara tidak punya kedaulatan.
Menurut Yusuf, orang akan mencapai kemandirian pangan ketika dia memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk mengolah pangan. Oleh sebab itu, Yusuf menekankan bahwa misi Martani itu bukan sekedar berdagang tetapi memberdayakan konsumennya untuk paham, “Bahasa inggrisnya empowering to understanding, contoh kasus terigu. Terigu itu impor. Kalau pangan kita terigu terus, maka kita tidak berdaulat, karena kita impor terus,” ungkap Yusuf.
Biro Pusat Statistik mencatat, di tahun 2021, Indonesia mengimpor 31,34 ribu ton tepung gandum, dengan nilai sebesar 11,81 juta dolar Amerika. Indonesia membeli banyak gandung paling banyak dari India, sebanyak 19,9 ribu ton. Saat perang Rusia dan Ukrainan berkecamuk, India menghentikan ekspor gandumnya. India ingin produksi pangannya untuk kebutuhan dalam negerinya.
Yusuf ingin mengajak orang lain untuk memahami situasi impor tersebut, kemudian memantik orang untuk mencari alternatif pengganti bahan impor tersebut. “Apakah ada bahan yang kita punya yang bukan terigu?” tanya Yusuf.

Tepung Mokaf produksi Martani
Atas dasar itu, Martani mengembangkan singkong menjadi tepung mokaf. Tepung mokaf bisa digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan kue kering, tepung bumbu, dan camilan. Produk ini juga bisa digunakan sebagai bahan pengganti terigu. Tepung mokaf tidak mengandung gluten, sehingga aman dikonsumsi oleh orang dengan autisme dan celiac disease (autoimun).
Yusuf mengatakan perlu untuk menyediakan produk alternatif agar ada pemahaman ke publik. Baik itu pemahaman mengenai keberpihakan terhadap petani ataupun karena alasan kesehatan. “Ketika orang paham, dia jadi punya alasan untuk beli atau tidak, soal harga termasuk di dalamnya.”