
Oleh : Teguh Iman Affandi
April 2021 lalu, Bupati Sorong mencabut izin empat perusahaan perkebunan sawit di wilayahnya. Keputusan ini didukung oleh masyarakat adat di Kabupaten Sorong, Papua Barat, yang menganggap sawit adalah acaman bagi hutan mereka.
Daniel Kayaru, warga masyarakat adat di Kabupaten Sorong, bercerita awal mula perusahaan sawit masuk ke wilayah adatnya. “Saat itu tahun 2005-an, saat saya masih sekolah,” katanya.
Saat itu, suara warga masyarakat adat terbelah. Ada yang menerima ajakan perusahaan. Namun ada pula yang menolak.
Kata Daniel Kayaru, warga yang menolak beralasan janji perusahaan tidak bisa di pegang. Ditambah lagi, segala fasilitas yang dijanjikan belum juga terealisasi. Warga masyarakat adat pun jadi antipati dengan perusahaan Sawit.
Namun, alasan mendasar mengapa ada warga menolak perusahaan sawit, menurut penuturan Daniel, adalah karena warga tidak mau hutannya dibongkar. Bagi warga masyarakat, hutan adalah sumber kehidupan. Di dalam hutan ada rotan, babi, rusa, dan lainnya. “Hutan menjamin penghidupan kita sehari-hari,” kata Daniel.
Saat ini, sawit memang menjadi primadona komoditas ekspor Indonesia. Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menyebut produksi minyak sawit mentah Indonesia di tahun 2021 mencapai 48,66 juta ton dengan nilai ekspor mencapai 35 miliar dolar Amerika.
Mengetahui sawit sangat diminati di pasar internasional, Daniel hanya bisa berharap kepada negara penerima komoditas sawit Indonesia. Daniel berharap agar negara tersebut membuat perundang-undangan, yang menjamin hak-hak tanah adat. “Kalau ada undang-undang yang menjamin hak kita, kami akan terima, tapi kalau tidak ada, ya kita akan tetap tolak (sawit – red),” ungkap Daniel.