European Union Deforestation Regulation (EUDR) akan berlaku penuh pada 2025. Banyak hal yang masih jadi pertanyaan terkait penerapan regulasi ini. Ruang perjumpaan semua stakeholder komoditas yang disebut dalam EUDR menjadi perlu untuk saling berbagi informasi.

Semiloka EUDR di Jakarta, 8 November 2023, mengundang berbagai stakeholder untuk menuju komoditas yang berkelanjutan
Rabu, 8 November 2023, Kaoem Telapak mengadakan seminar dan lokakarya, bertajuk Implementasi EUDR dan Permasalahan Terkait: Menuju Komoditas Berkelanjutan di Masa Depan bagi Indonesia, di Jakarta. Dalam kesempatan ini, Kaoem Telapak mengundang perwakilan EU Delegation, Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Pemerintah Daerah Kabupaten Sekadau, kedutaan negara-negara anggota Uni Eropa, pelaku bisnis kopi dan kakao, lembaga sertifikasi, dan Koalisi CSO Indonesia.
Presiden Kaoem Telapak, Mardi Minangsari, mengungkapkan penerapan EUDR merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan kepemimpinannya dalam memitigasi krisis iklim sekaligus pencapaian Sustainable Development Goals. Peraturan antideforestasi milik Uni Eropa tersebut memang bertujuan untuk menekan konsumsi Uni Eropa terhadap komoditas yang dinilai sebagai penyebab hilangnya hutan dan kerusakan lingkungan. Namun, regulasi tersebut juga akan menimbulkan dampak ke negara produsen, terutama ke kelompok smallholders atau petani kecil swadaya.
Permintaan komoditas yang punya perspektif berkelanjutan, tidak hanya datang dari pasar Uni Eropa, tetapi banyak negara juga mulai bergerak ke arah yang sama. “Meskipun sangat kompleks, peraturan ini (EUDR – red) menyediakan peluang untuk memperkuat tata kelola hutan, tata guna lahan, memperkuat ketelusuran, dan keberlanjutan di sektor komoditas yang dipantau,” ungkap Mardi Minangsari.

Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak
Eloïse O’Carroll, yang hadir mewakili EU Delegation mengungkapkan tujuan regulasi EUDR dibuat adalah untuk menekan konsumsi Uni Eropa terhadap komoditas yang dinilai berisiko deforestasi. Import Uni Eropa untuk komoditas-komoditas ini mencapai 85 juta Euro per tahun. Eloïse O’Carroll pun memaparkan bahwa secara global, ada 420 juta hektar hutan yang hilang. Luas hutan yang hilang lebih besar daripada luas benua Eropa. “Padahal kita tahu, hutan adalah alat mitigasi yang terbaik dalam menangkal perubahan iklim,” ungkapnya. Kemudian, Eloïse O’Carroll menambahkan bahwa 90% dari deforestasi disebabkan oleh ekspansi lahan agrikultur.
Ada tujuh komoditas yang dipantau dalam EUDR, yaitu sawit, kedelai, kayu, hewan ternak, kokoa, kopi, dan karet. Produk turunan dari komoditas-komoditas itu pun juga akan dipantau. Eloïse O’Carroll mengingatkan bahwa cakupan komoditas bisa bertambah seiring perjalanan waktu.
Kemudian, dia juga menekankan bahwa EUDR ada untuk meminimalkan kontribusi Uni Eropa terhadap deforestasi dan hilangnya biodiversitas. EUDR bukanlah larangan untuk negara tertentu ataupun komoditas tertentu. “EUDR adalah jalan bagi kami dalam mencapai Sustainable Development Goals,” katanya.

Dari kiri ke kanan: Peneliti Ecosoc Institute, Sri Palupi. Bupati Sekadau, Anton S.H. Moderator Diskusi, Lilik Hasanuddin.
Perwakilan KLHK, Krisdianto S.Hut M.Sc Ph.D. Presiden Kaoem Telapak, Mardi Minangsari. EU Delegation, Eloïse O’Carroll.
Dalam konteks Indonesia, seminar dan lokakarya ini menyoroti dua komoditas asal Indonesia yang akan dipantau oleh EUDR. Komoditas itu adalah Kayu dan Sawit.
Krisdianto S.Hut M.Sc Ph.D dari KLHK, mengatakan bahwa EUDR sudah tidak bisa berjalan mundur, sebab aturan ini sudah ada tata waktunya. Menurut Krisdianto, ke depan akan makin banyak aturan yang serupa dengan EUDR, “ Amerika dengan Lacey Act, UK dengan Enviromental Act 2021,” katanya.
Menurut Krisdianto, kata kunci dalam menghadapi EUDR adalah traceability atau ketelusuran. Meskipun legalitas kayu asal Indonesia sudah diakui oleh Uni Eropa, namun menyisakan pekerjaan rumah yakni aspek keberlanjutannya. Tantangannya adalah bagaimana data geolokasi bisa diakses juga oleh petugas uji tuntas pemeriksa barang di Uni Eropa, “Data-data geolokasi inilah yang memerlukan waktu untuk sampai ke petugas uji tuntas,” ujarnya.

Dr. Prayudi Syamsuri
Untuk komoditas sawit, Dr. Prayudi Syamsuri, SP., M.Si., dari Kementerian Pertanian menjelaskan bahwa minyak sawit yang dikirim ke Uni Eropa hanya berkisar 8,8% dari total produksi di Indonesia. Hal ini membuat Uni Eropa berada di posisi empat besar dalam urutan konsumen minyak sawit Indonesia. Meskipun begitu angka ini relatif kecil bila dibandingkan dengan India dan China yang ada di angka 19 % dan 14%. “Karena jumlahnya kecil, semestinya kita tidak perlu risau dengan EUDR,” ungkapnya.
Namun, Prayudi Syamsuri mengingatkan bahwa pangsa Uni Eropa selalu menjadi trendsetter. Bila ada kebijakan baik, dunia akan mengikutinya. “Persoalan akan muncul, kalau kita tidak mempersiapkan diri menghadapinya,” katanya.
Lebih lanjut, Prayudi Syamsuri menjelaskan jika komoditas Indonesia tidak diterima, bisa saja Indonesia menjualnya ke tempat lain. Namun langkah ini bukan tanpa kendala. “Kalau mengikuti langkah ini, nanti yang kita dapat adalah discount price, bukan premium price,” ujarnya.

Peserta Semiloka EUDR 2023
Praktik produksi yang berkelanjutan sudah dilakukan di banyak tempat. Salah satunya adalah Kabupaten Sekadau. Dalam seminar ini, Bupati Sekadau, Aron S.H., turut hadir membicarakan strategi produksi komoditas sawit yang berkelanjutan. Bupati Aron memaparkan pentingnya data, peningkatan produktivitas, pemberdayaan Masyarakat Adat, pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup, sertifikasi komoditas. “Untuk peningkatan produktivitas, ada serratus ribu benih unggul kelapa sawit yang diberikan kepada smallholders,” ungkapnya.
Sejak masih dalam status proposal, Koalisi CSO Indonesia sudah memantau regulasi ini. Sri Palupi, peneliti dari ECOSOC Institute, hadir mewakili koalisi di acara ini. Dia menilai EUDR memiliki kesamaan tujuan dengan niat Indonesia dalam melawan deforestasi. Sri Palupi pun menyebut, Indonesia sudah melakukan beberapa langkah untuk merealisasikan hal tersebut, dari mulai memperkuat ISPO, mengeluarkan moratorium sawit, restorasi gambut, perhutanan sosial, meperkuat SVLK, Rencana Aksi Nasional Sawit Berkelanjutan, sampai dengan FOLU Net Sink 2030. “Sehingga tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak menyiapkan diri menghadapi penerapan EUDR,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Sri Palupi menjelaskan, Indonesia sudah punya pengalaman mengadapi regulasi dari Uni Eropa. Contohnya adalah perjanjian FLEGT VPA untuk komoditas kayu. “Dalam hal ini, Indonesia berhasil,” ujarnya.