Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang mampu tumbuh dengan baik di daerah tropis (15° LU – 15° LS). Secara geografis, tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%.Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan ini mempengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit. (Hidayat, 2007). Oleh karena itu kelapa sawit sangat cocok tumbuh di wilayah Kalimantan dan Sumatera.
Selain faktor geografi, faktor ekonomi juga menjadi alasan mengapa tanaman ini begitu populer di Indonesia. Diketahui bahwa minyak sawit masih menjadi penyumbang ekspor nonmigas terbesar.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017 (terangkum pada Tabel 1), nilai ekspor minyak sawit pada tahun tersebut mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 275 triliun. Jumlah tersebut setara dengan 13,3% dari total ekspor nonmigas tahun lalu. Sedangkan untuk nilai ekspor terbesar kedua adalah batu bara, yakni mencapai US$ 17 miliar, kemudian di urutan ketiga adalah pakaian jadi tekstil senilai US$ 6,8 miliar.

Seperti yang penulis jelaskan sebelumnya, negara sebenarnya sudah turun tangan dalam mengurangi kegiatan alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit. Hal ini bisa dilihat dari berbagai kebijakan yang lahir dalam rangka meningkatkan kegiatan bertani.
Namun seringkali masyarakat memandang bahwa produk minyak kelapa sawit lebih memiliki nilai yang tinggi daripada produk pertanian, selain itu ditunjang dengan kondisi geografis yang menunjang tumbuhnya tanaman kelapa sawit. Sehingga dalam kasus ini, penulis melihat kecil kemungkinannya negara berperan dalam aktivitas alih fungsi lahan. Tetapi mampu dikatakan negara telah gagal dalam membendung pergerakan masyarakat untuk mengurangi kegiatan tersebut.
Referensi
Arnold, Setiawan dan Heru.(2012) Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Menjadi Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Katingan. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Diakses dari http://digilib.its.ac.id/public/ITSUndergraduate- 33956-Paper-236314.pdf
Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Jambi. (2014). Buku data status lingkungan hidup daerah Provinsi Jambi tahun 2014. Jambi: Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jambi.
Bahri, Syamsul. (2015). Analisis Alih Fungsi Lahan Padi Menjadi Lahan Sawit Di Desa Kemuning Muda Kecamatan Bunga Raya Kabupaten Siak. Jom FISIP Universitas Riau. Diakses dari https://www.scribd.com/document/325644086/ANALISIS-ALIH-FUNGSI-LAHAN-PADI-MENJADI-LAHAN-SAWIT-DI-DESA-KEMUNING-MUDA-KECAMATAN-BUNGA-RAYA-KABUPATEN-SIAK
Hidayat A. (2007). Peta Kesesuaian Lahan dan Peta Arahan Tata Ruang Pertanian. Balai Penelitian Tanah dan World Agroforestry Centre: Bogor.
Iqbal, M dan Soemaryanto. (2007). Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertaian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Diakses dari pse.litbang.deptan.go.id
Irawan, B. (2006). Konversi Lahan Sawah Menimbulkan Dampak Negatif bagi Ketahanan Pangan dan Lingkungan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 27(6):1-3. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Mulyani A, Setyorini D, Rochayati S, Las I. 2013. Karakteristik dan Sebaran Lahan Sawah Terdegradasi di 8 Provinsi Sentra Produksi Padi. Bogor: Balai Penelitian Tanah. Diakses http://balittanah.litbang.pertanian.go.id.->
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Pertanian. (2018). Diakses dari http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/akp/article/download/8376/7176
Simanjorang, Raymond. (2018). Masalah Sawit Indonesia: Lingkungan, Ketahanan Pangan dan Konflik Agraria. Indonesia Water Forum. Diakses dari http://inawf.org/192/