Donasi

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

berjuang untuk keadilan ekologi

Perlu Ada Mekanisme Evaluasi Tentang Dampak Perda Masyarakat Adat

Oleh : Anang Sidik

Kongres AMAN (KMAN) VI berlangsung sejak tanggal 24 – 30 Oktober 2022 di Jayapura. Acara ini merupakan perhelatan lima tahunan komunitas adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Masyarakat Adat dari berbagai daerah mengirimkan perwakilan untuk mengikuti kongres. KMAN sendiri merupakan mekanisme untuk melakukan refleksi dan konsolidasi organisasi menuju gerakan Masyarakat Adat (MA) yang terpimpin. Sekitar 1500 peserta perwakilan Masyarakat Adat pun berkumpul. Tidak hanya masyarakat adat, ada pula perwakilan Pemerintah baik Kementrian atau lembaga, CSO, dan media, turut serta mengikuti rangkaian acara kongres. 

Tari pembuka di Kongres Masyarakat Adat Nusantara VI

Kaoem Telapak (KT) merupakan salah satu penyelenggara dalam acara sarasehan, yang merupakan satu bagian penting dalam rangkaian KMAN. Sarasehan adalah tempat menghimpun ide, kritik dan upaya mencari solusi terhadap permasalahan masyarakat adat di Indonesia. KT ikut berpartisipasi dalam Sarasehan 6 dengan tema Memperkuat Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Mandat Konstitusi untuk Menghormati dan Melindungi Hak Masyarakat Adat.

Ada dua tujuan dari sarasehan ini yakni, pertama, mengidentifikasi terobosan kebijakan, strategi, dan program dalam proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Indonesia. Kedua, mengidentifikasi hambatan-hambatan operasionalisasi proses kebijakan terkait pengakuan masyarakat adat yang meliputi hak tenurial dan hak tradisional, serta wilayah adat dan kewenangan masyarakat adat untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya alamnya. 

Menurut catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) tahun 2022, baru ada 77 kabupaten di 24 provinsi Indonesia yang telah menerbitkan kebijakan daerah tentang tata cara pengakuan Masyarakat Adat. Akan tetapi baru ada 15 persen atau 3 juta hektar luas wilayah adat yang ditetapkan pengakuannya oleh Pemerintah Daerah dari 20,4 juta hektar wilayah adat yang dipetakan oleh masyarakat. Lambatnya proses pengakuan wilayah adat merupakan salah satu hambatan yang ingin ditelisik dalam kongres ini. Perlunya payung hukum holistik tentang masyarakat adat (RUU Masyarakat Adat) menjadi sub pembahasan lainnya.

Sarasehan 6 yang Kaoem Telapak selenggarakan di KMAN VI

Sarasehan 6 dilaksanakan di Kampung Yokiwa, Distrik Sentani Timur dan dihadiri lebih dari 200 perwakilan masyarakat adat yang berasal dari berbagai pelosok nusantara. Selain itu, Sarasehan 6 juga diisi oleh narasumber dari beragam latar belakang seperti, Bupati Jayapura, Perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Perwakilan Pemerintah Provinsi Papua Barat, Kelompok Masyarakat Sipil dan Akademisi. 

Diskusi Berjalan Progresif

Kasmita Widodo dari BRWA bertindak sebagai moderator dan membuka jalannya sarasehan dengan pemaparan narasumber. Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, mengawali pemaparan dengan menunjukkan berbagai capaian Masyarakat Adat di Kabupaten Jayapura. Salah satu capaiannya adalah bagaimana soliditas Masyarakat Adat melawan korporasi yang mengancam keberlangsungan hutan di Papua. 

Diskusi disambung oleh Perwakilan Provinsi Papua Barat, Dr Henrikus Renjaan, SH. L.LM, CLA yang memaparkan kendala atau hambatan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat di Provinsi Papua Barat. Menurutnya komitmen gubernur dan bupati atau walikota dalam mendukung program percepatan pengakuan masyarakat adat bisa dilaksanakan melalui perencanaan anggaran yang memadai serta tepat sasaran. Di samping itu, kolaborasi dan sinergitas pemerintah provinsi atau kabupaten-kota dalam memanfaatkan SDM mitra pembangunan dapat juga menyukseskan program percepatan pengakuan Masyarakat Adat di Papua Barat. 

Sesi diskusi Sarasehan 6

Diskusi kemudian mengarah pada analisa mengenai bagaimana proses pengakuan hutan adat yang  ada di Indonesia.  KLHK yang diwakili oleh Ir. Muhammad Said, MM, memaparkan capaian pemerintah dalam  hutan adat. Ada 105 Surat Keputusan (SK) penetapan hutan adat telah dikeluarkan oleh KLHK sejak 2016 hingga 2022, dengan luas 148.488 hektar. Hutan adat yang telah ditetapkan ini menjangkau 47 ribu kepala keluarga di hampir 17 provinsi. 

KLHK juga menjabarkan mengenai banyaknya aturan terkait penetapan hutan adat maupun yang terkait dengan pengakuan masyarakat adat. Menurutnya hal tersebut akibat lambatnya undang-undang yang mengatur masyarakat adat secara komprehensif. Lambannya regulasi direspon oleh masing-masing kementerian terkait untuk mengisi kekosongan hukum. Demikian akhirnya perda meskipun melalui proses politis, menjadi salah satu jalur yang bisa dicapai sebagai dasar hukum masyarakat adat untuk diakui. 

Setelah perwakilan pemerintah, kalangan kelompok masyarakat sipil dan akademisi ikut memaparkan materi terkait tema sarasehan. Akademisi diwakili oleh Bivitri Susanti dari STHI Jentera. Ia mengulas mengenai pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan menggarisbawahi beberapa poin penting, terutama tantangan legislasi di daerah (perda). Pertama, seringnya sebuah peraturan sangat dekat dengan kepentingan pemodal. Kedua, banyak perda pengakuan dan perlindungan MA tidak operasional. Hal tersebut ditengarai karena umumnya perda masih abstrak atau hanya berisi definisi-definisi. Lalu hanya bersifat deklaratif sehingga susah di operasionalisasi. 

Selain Bivitri, Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika ikut menyumbangkan buah pikir terutama dalam membahas posisi terkini reforma agraria beserta kondisi konflik agraria yang terjadi pada Masyarakat Adat. Menurutnya, sempitnya ruang administrasi pengakuan dan penguatan hak menjadi salah satu tantangan dari Masyarakat Adat. Selain itu moratorium hak dan izin badan usaha perlu dilakukan disamping memulihkan hak Masyarakat Adat atas tanah adatnya. Mendorong model-model reforma agraria Masyarakat Adat yang bottom up perlu dilakukan sebagai salah satu inisiatif. 

Saat pemaparan selesai, peserta melakukan panel diskusi kedua dengan format diskusi interaktif seputar permasalahan dari masing-masing perwakilan atau region. Tiap region menyampaikan kondisi faktual wilayah adatnya. Perwakilan dari Masyarakat Adat Kinipan misalnya, mengutarakan bagaimana selama bertahun-tahun berjuang memperjuangkan wilayah adat dan meminta pengakuan. Namun hingga saat ini justru sulit mendapatkan status pengakuan, di samping teror atau tindakan kriminalisasi yang terus menerus berlangsung. Selain perseteruan yang ada, peserta juga menyampaikan bagaimana aturan (perda) yang ada belum berimplikasi langsung terhadap kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari indikasi kesejahteraan maupun kemiskinan yang di wilayah adatnya. 

Rekomendasi Sarasehan

Setelah pemaparan dan diskusi interaktif, panitia mengumpulkan seluruh poin-poin penting dan kemudian merangkumnya menjadi rekomendasi. Salah satu rekomendasi yang dituangkan dalam sarasehan ini adalah perlunya satu mekanisme evaluasi dampak Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat agar pelaksanaannya bermanfaat dan tepat sasaran bagi masyarakat adat, baik dampak ekonomi, sosial maupun lingkungan. 

Tidak hanya itu, sekolah hukum praktis juga menjadi rujukan penting dalam rekomendasi Sarasehan 6. Masyarakat adat dituntut untuk setidaknya membela dirinya sendiri dan kelompok sehingga sekolah hukum menjadi vital ke depan. Hasil rekomendasi sarasehan menjadi salah satu acuan atau dasar AMAN dalam menentukan program kerja selama 5 tahun mendatang.

Kategori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Dengan mendaftarkan email ini, anda setuju untuk menerima seputar berita, tawaran, dan informasi dari Kaoem Telapak. Klik disini untuk mengunjungi Kebijakan Privasi Kami. Tautan untuk berhenti menerima pemberitahuan disedeiakan pada setiap email.