Oleh : Teguh Iman Affandi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyoroti peran perempuan dalam menjaga dan meneruskan pengetahuan tradisional sebagai tema Hari Masyarakat Adat Internasional. Walau istilah pengetahuan tradisional mengandung persoalan.
“Bukan pengetahuan tradisional… pengetahuan Perempuan Adat,” ungkap Olvi Octavianita Tumbelaka, Juru Kampanye Kaoem Telapak.
Olvy, yang juga merupakan bagian dari masyarakat adat Benuaq, mengatakan bahwa penggunaan kata tradisional tidak tepat secara politis. “Dalam konteks bahasa Indonesia, kata tradisional maknanya tidak jelas,” ungkapnya.

Olvy Octavianita Tumbelaka, Juru Kampanye Kaoem Telapak
Olvy menilai penggunaan istilah pengetahuan perempuan adat memiliki makna yang lebih politis. “Ini pernyataan politis, bagaimana pengetahuan perempuan adat kerap kali dipinggirkan, akibatnya pengalaman perempuan dalam mengelola ulayat adatnya agar berkelanjutan itu tidak diakui,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Olvy menjelaskan bahwa dampak dari pengingkaran pengalaman perempuan ini punya efek yang cukup serius. “Dalam pengambil keputusan atas wilayah adat, perempuan tidak diajak, padahal yang mengelola wilayah adat agar sustainable adalah perempuan,” katanya.
Melalui Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, posisi perempuan adat makin terjepit. Dalam peraturan tersebut, negara menarasikan bahwa yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki. Dampak peraturan ini akan terasa ketika wilayah adat beralih fungsi menjadi areal perusahaan perkebunan. “Ketika suami, bapak, ataupun anak lelaki yang jadi kepala keluarga … jika sudah deal-dealan dengan perusahaan, suara perempuan tidak diterima,” ungkap Olvy.
Saat ini, menurut Olvy, perempuan adat harus bicara, memastikan pengakuan hak perempuan adat dalam pengelolaan ulayat, dari mulai level kampung sampai ke Internasional. “Secara komunitas adat, pengelolaan lahan itu hak kami, akuin dong,” kata Olvy.

Dua Perempuan Adat Asal Distrik Segun, Kabupaten Sorong, Papua Barat
Foto : Andi Lekto
23 Desember 1994, Majelis Umum PBB menerbitkan Resolusi 49/214, yang isinya menetapkan hari peringatan untuk kelompok masyarakat adat secara internasional pada tanggal 9 Agustus. Penetapan tanggal itu berdasarkan pada hari pertama pertemuan kelompok kerja masyarakat adat pada Subkomisi Promosi dan Perlindungan Hak Asasi Manusia pada tahun 1982.