Oleh: Teguh Iman Affandi
Perempuan adat menunjukkan diri bahwa mereka berkontribusi kongkrit dalam komunitasnya. Pandemi Covid-19, tidak membuat mereka terpuruk, malah makin menunjukkan kokohnya daya tahan mereka yang bisa dilihat dari kemandirian pangan yang mereka ciptakan.
Meiliana Yumi atau biasa disapa Yumi, adalah perempuan adat Rakyat Penunggu dari Kampong Menteng Tualang Pusu, Sumatera Utara. Yumi menjadi penggerak di wilayah adatnya untuk mengelola tanah ulayat mereka. Saat ini, Yumi aktif di PEREMPUAN AMAN, sayap organisasi dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai Dewan Nasional untuk wilayah Sumatera.

Meiliana Yumi di ladang sayur kangkungnya
Yumi bersama perempuan adat di wilayah adat Rakyat Penunggu memulai gerakan untuk mengelola tanah adat sejak 2018. “Awalnya tidak semua perempuan adat tertarik untuk mengelola tanah adat,” kata Yumi. Hal ini karena tidak semua perempuan adat bekerja di dalam kampung mereka. Dari penuturan Yumi, banyak pula perempuan adat yang bekerja sebagai buruh di kota, sehingga tidak punya waktu untuk mengelola tanah adat.
Hasil tani yang mereka hasilkan diantaranya adalah sayur-sayuran, cabai, jagung, padi, buah-buahan. “Kalau di kampung saya, banyak menanam sayuran, jagung, kacang-kacangan,” kata Yumi.
Tahun 2020, kasus pertama Covid-19 terjadi di Indonesia. Pemerintah pun melakukan pembatasan sosial di tiap level wilayah administrasi, tidak terkecuali di Kabupaten Deli Serdang, tempat wilayah adat Rakyat Penunggu berada.
Perempuan adat Rakyat Penunggu pun menyesuaikan diri. Pengajian biasanya digelar, saat itu ditangguhkan untuk sementara waktu. “Kami tahu ada virus ini, kami mencoba memagari diri,” ungkap Yumi.
Dampak yang paling terasa bagi Yumi adalah pemutusan hubungan kerja besar-besaran. “Banyak perempuan adat yang diberhentikan kerja,” kata Yumi.
Di tengah situasi sulit, kebun kolektif yang digaungkan oleh Yumi dan perempuan adat Rakyat Penunggu lainnya mampu menjadi penyelamat. “Apa yang kami tanam, bisa berkontribusi sampai di luar wilayah adat kami,” ujar Yumi.
Lokasi wilayah adat yang tidak jauh dari kota membuat banyak penghuni kota yang datang ke kebun kolektif itu untuk meminta bahan makanan. “Ya, kami membolehkan jika sekadar untuk dimakan,” ungkap Yumi.