Instruksi Presiden No.8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit atau yang dikenal dengan Inpres Moratorium Kelapa Sawit merupakan salah satu kebijakan yang ditujukan untuk perbaikan tata kelola kelapa sawit di Indonesia. Perbaikan ini dilakukan melalui mekanisme penundaan izin baru dan evaluasi existing izin perkebunan kelapa sawit terutama bagi perkebunan yang berada di dalam kawasan hutan.
Dalam konsideranya kebijakan ini memiliki beberapa tujuan mulia dalam semangat perbaikan tata kelola sawit di indonesia, diantaranya: peningkatan tata kelola perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan; memberikan kepasatian hukum; menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca; peningkatan pembinaan petani kelapa sawit dan peningkatan produktivitas perkebunan kelapa sawit.

Langkah cepatpun diambil oleh pemerintah indonesia dengan mengamanatkan kepada 8 Kementerian dan/atau Lembaga terkait untuk dapat menjalankan amanatnya yang hanya berlaku selama 3 tahun ini. Kebijakan ini kemudian disambut baik di sejumlah daerah, diantaranya: Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Riau, Papua Barat, dan Kepulauan Riau.
Mengapa harus ada Inpres Moratorium Kelapa Sawit?
Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara penghasil minyak kelapa sawit mentah atau yang dikenal dengan CPO (crude Palm Oil) terbesar kedua di dunia setelah Malaysia, secara besaran, luas wilayah lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia nomor satu di dunia.
Pada tahun 2020 sendiri, sektor kelapa sawit mampu menyumbang devisa sebesar Rp 321,5 triliun. Selain itu sektor kelapa sawit merupakan sektor padat karya yang memperkerjakan setidaknya 4,42 juta pekerja pada tahun 2018. Turunan produk kelapa sawit sendiripun banyak ragamnya, mulai dari margarin, sabun, sampo,lipstik, mie instan, dll yang hampir kesemuanya merupakan kebutuhan produk harian kita.
Dibalik keragaman dan manfaat tersebut, jika ditelisik lebih dalam, tak semua end product tersebut berasal dari minyak kelapa sawit yang clean and clear. Segudang permasalahan telah mengakar kuat dalam sektor ini yang belum mampu terselesaikan sampai dengan saat ini. Permsaalahan terkait dengan perolehan lahan, serta isu kerusakan lingkungan menjadi perbincangan yang tak kunjung surut dalam mewarnai sektor ini.
Hadirnya Inpres Moratorium Kelapa Sawit ini merupakan satu dari sekian langkah dalam mengatasi persamalahan tersebut dengan fokus kebijakan yang hanya menyasar kepada lahan kelapa sawit dalam kawasan hutan. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Kemen-LHK) mencatat sebesar 3,4 juta ha lahan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, yang secara rinci masuk ke dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 1,5 juta ha; Kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 1.13 juta ha; Kawasan Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 502 ribu ha; Kawasan Hutan Lindung seluas 155 ribu ha; dan Kawasan Hutan Konservasi seluas 91 ribu ha.
Sejauh mana Inpres Moratorium Kelapa Sawit berperan dalam penyelesaian lahan kelapa sawit di dalam kawasan hutan?
Memasuki putaran babak akhir dari kebijakan ini, nyatanya belum ada satupun kasus perizinan yang di meja hijaukan. Namun demikian capaian progresif telah dihasilkan, yaitu Peta tutupan lahan perkebunan kelapa sawit yang disahkan dalam Keputusan Menteri Pertanian No.833/KPTS/SR.020/M/12/2019 seluas 16.4 juta ha. Beberapa diskusi terkait dengan mekanisme penyelesaiaan lahan kelapa sawit sempat terdengar ke publik, namun tak ada satupun yang dapat memastikan perkembangannya, lantaran pembahasanya yang tertutup. Terlepas dari problematika tersebut banyak kalangan yang pada akhirnya pesimis dan mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam membenahi tata kelola kelapa sawit indonesia.
Koalisi Moratorium Kelapa Sawit yang merupakan forum komunikasi Civil Society Organisation (CSO) turut andil dalam mensyukseskan kebijakan yang akan berakhir pada September mendatang. Koalisi CSO mencermati rendahnya capaian ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya: Pertama minimnya sosialisasi kebijakan hingga tingkat tapak. Kedua cara kerja Pemerintah Pusat dan Daerah yang belum tersinkroinisasi. Ketiga belum adanya peta jalan implementasi kebijakan moratorium kelapa sawit. Keempat tidak adanya prinsip keterbukaan dalam pelaksaan kebijakan Inpres Moratorium Kelapa Sawit. Kelima Pemerintah belum memeiliki arah yang jelas dalam peningkatan produktivitas kelapa sawit.
Apa tantangan kedepan?
Saat ini, peningkatan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja menjadi prioritas agenda pemerintah Indonesia yang tertuang dalam UU Cipta Kerja (UUCK). Pemercepatan proses pemberian izin melalui Perizinan Berbasis Resiko menjadi norma baru dalam ajang perizinan berusaha di Indonesia.
Melihat tata kelola kelapa sawit hingga saat ini, nampaknya norma kebijakan baru tersebut sulit untuk dilakukan, lantaran persoalan existing perizinan sektor kelapa sawit yang belum sepenuhnya clear and clean. Penerbitan izin secara cepat hanya dapat dilakujkan jika infrastruktur pendukung termasuk data perizinan yang clean and clear.
Penyelesaian persoalan kelapa sawit dalam kawasan hutan serta penegasan larangan izin kelapa sawit dalam kawasan hutan serta penegakan hukum merupakan langkah konkrit yang perlu dikedapankan untuk tercapai perbaikan tata kelola sawit di indonesia dalam mendukung percepatan perizinan yang saat ini dicanangkan.
Penulis: Denny Bhatara – Juru Kampanye Sawit