Oleh: Teguh Iman Affandi
Food Estate (FE) atau proyek lumbung pangan yang digelorakan oleh Pemerintah masih menyisakan persoalan. Oleh sebab itu, Kaoem Telapak mengadakan Focus Group Discussion (FGD) pada Kamis dan Jumat, 29 – 30 September 2022. FGD ini mengundang akademisi, kelompok masyarakat sipil, dan wartawan untuk mengulik lebih dalam proyek pemerintah tersebut.

Peserta FGD Food Estate, 29 – 30 September 2022
Di sesi pagi, Ahmad Arif dari Kompas dan Agoeng Wijaya dari Tempo, memaparkan pengalaman mereka dalam meliput proyek FE. Menurut Arif, pangan adalah bagian dari identitas budaya. Dia pun menyoroti bagaimana pangan masyarakat Indonesia yang dulunya beragam, namun perlahan mulai bergeser menjadi seragam.
Dia memaparkan data, di tahun 1954, karbohidrat yang dikonsumsi oleh orang Indonesia 55% adalah beras, kemudian naik menjadi 81% di tahun 1980. Padahal di tahun 1951, masih ada bentuk karbohidrat lain yang dikonsumsi masyarakat Indonesia saat itu, yakni singkong, jagung, dan umbi-umbian lainnya. Arif menilai ada proyek berasisasi di sana. “Sistem pangan nasional harus dikembalikan pada konsep keberagaman nusantara, yang beragam bioregion dan budayanya,” ungkap Arif.
Agoeng menambahkan bahwa sebagai jurnalis, dia menilai proyek FE punya nilai berita yang nyaris sempurna. “Dari aspek actuality, public interest, proximity, magnitude, conflict, human interest,surprise, figure, ada semua di proyek FE,” ungkap Agoeng. Oleh sebab itu, Agoeng pun menyerukan kolaborasi untuk jurnalis, aktivis, dan peneliti.
Di sesi siang, akademisi dari Institut Pertanian Bogor, Prof. Dwi Andreas Santosa, memaparkan kondisi ketahanan pangan di Indonesia. Dia mengutip data dari Global Food Security Index yang menyebut, ketahanan pangan Indonesia mengalami penurunan sejak tahun 2016. Posisi terakhir, Indonesia berada di peringkat 69. “Indonesia lebih buruk daripada negara-negara timur tengah,” katanya.
Kemudian, beliau bercerita. Program FE sudah ada sejak 25 tahun yang lalu. Selama seperempat abat tersebut, menurut Prof Andreas, FE selalu gagal. Tahun 1998, pemerintah mengirim 15 ribu keluarga petani untuk mengolah lahan gambut, namun hasilnya tidak ada. Di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah mengembangkan tiga FE di Merauke, pada 2008. Ada 37 perusahaan yang masuk ke sana. Namun menurut Prof Andreas, hasilnya tidak ada.
Lalu di 2013, FE kembali dicoba-kembangkan di Ketapang, hasilnya malah ada pejabat yang ditangkap karena kasus korupsi. Di era Jokowi, pemerintah sempat mencanangkan Merauke sebagai Rice Estate, namun menurut beliau, hasilnya tidak ada. Prof Andreas menyatakan FE selalu gagal karena mengingkari empat pilar pengembangan lahan pangan. Keempat pilar tersebut adalah kelayakan tanah atau agroclimate, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, dan kelayakan sosial-ekonomi.