Donation

FIGHTING FOR ECOLOGICAL JUSTICE

FIGHTING FOR ECOLOGICAL JUSTICE

Fighting for ecological justice

Forest monitoring by community

Transparansi menjadi prasyarat penting dalam upaya reformasi kehutanan Indonesia. Hal ini juga menjadi perhatian khususnya kalangan organisasi non-pemerintah dan kelompok-kelompok penekan lain, termasuk IMF dan World Bank yang merekomendasikan pembaharuan kebijakan yang dapat mendorong terjadinya transparansi (the World bank, 1998). Meskipun UU Kehutanan No. 41 tahun 99 menyebutkan bahwa misalnya dalam perencanaan hutan, “…harus dilaksanakan secara transparan, bertanggung-gugat, partisipatif, terpadu, serta memperhatikan kekhasan dan aspirasi daerah”, akan tetapi pada prakteknya keterlibatan rakyat hanya diakomodasikan secara minimal oleh para pengambil kebijakan kehutanan Indonesia. Dalam rangka menuju pengelolaan hutan yang transparan maka pemantauan pengusahaan hutan oleh masyarakat, di mana masyarakat melakukan monitoring atas kegiatan-kegiatan pengusahaan hutan yang terjadi di wilayahnya, menjadi sangat penting.

Secara legal, pemantauan atau pengawasan hutan oleh masyarakat memperoleh dasar hukum secara umum dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang ini disebutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup, termasuk khususnya untuk “melakukan pengawasan sosial” dan “menyampaikan informasi dan/atau menyampaikan laporan”. Sementara itu UU Kehutanan no. 41 Tahun 1999 menyebutkan pula bahwa “Pemerintah dan masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengelolaan hutan yang berdampak nasional dan internasional” (pasal 64) dan “melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung” (pasal 68).

Meskipun kedua undang-undang yang disebutkan di atas memberikan ruang minimal hanya untuk pengawasan dan pemantauan oleh masyarakat, sampai saat ini pemerintah, dalam hal ini Departemen Kehutanan dan Perkebunan, pun terkesan masih enggan untuk mengakui dan mendasarkan pengambilan kebijakan atas hasil-hasil pemantauan oleh masyarakat.

Bagian berikut ini adalah hasil-hasil pemanatauan pengusahaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini oleh organisasi-organisasi non-pemerintah yang bekerja dalam program ProBELA (Telapak Indonesia, YALI, YLL, PLASMA) sepanjang tahun 1998-1999.
Korupsi Sebagai Masalah Mendasar Kehutanan Indonesia;
Hasil Investigasi ProBELA.

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) pada tahun 1995, hutan tropis Indonesia merupakan yang kedua terluas di dunia setelah Brazil. Dengan luas 100 juta hektar, hutan tropis Indonesia merupakan 10 persen dari seluruh hutan yang tersisa di dunia (data tahun 1996). Akan tetapi hutan Indonesia itu sedang menghilang dengan kecepatan yang luar biasa, lebih dari 2 juta hektar per tahun. Sampai tahun 1997 diperkirakan bahwa 72% dari hutan asli Indonesia telah hilang.

Selama beberapa dekade terakhir ini telah mulai disadari bahwa para raja kayu Indonesia, kawan dekat, keluarga, dan kroni Soeharto, mantan presiden Indonesia, adalah yang paling bertanggung jawab atas rusak dan menghilangnya hutan Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar kehutanan dan perkebunan lah yang merupakan penyebab utama kerusakan hutan Indonesia. Sebagai salah satu contoh, melalui pengamatan dari satelit pada tahun 1997 dan 1998, telah diidentifikasi 176 perusahaan perkayuan yang bertanggung jawab dan menjadi sumber kebakaran hutan yang melanda Sumatra dan Kalimantan pada tahun-tahun tersebut. Pengamatan satelit tersebut juga menunjukkan bahwa di kalimantan Timur saja, terdapat 4 juta hektar lahan yang rusak karena kebakaran. Informasi-informasi semacam ini telah menjadi informasi publik, dipublikasikan secara luas, akan tetapi meskipun demikian hanya beberapa saja dari perusahaan-perusahaan tersebut yang dikenai sangsi hukum.

Ilegalitas sebagai Norma


ProBELA mengungkapkan bahwa sektor kehutanan di Indonesia adalah sektor yang secara mendasar adalah korup dan penuh dengan ilegalitas. Analisis yang telah dilakukan menunjukkan bahwa jumlah kayu dari sumber-sumber tidak resmi jauh melebihi kayu dari sumber-sumber resmi.

Sebuah laporan akhir-akhir ini oleh Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme menemukan bahwa illegal logging menyumbang 32 juta meter kubik kayu tiap tahunnya, dibandingkan dengan produksi resmi sebesar 29,5 juta meter kubik. Angka sebesar itu sama dengan 800.000 hektar hutan yang ditebang secara liar setiap tahunnya.

Investigasi terhadap 11 HPH di Sumatra, Papua, dan Kalimantan oleh ProBELA menunjukkan bahwa semua perusahaan yang diinvestigasi tersebut juga terlibat dalam illegal logging sebagaimana juga dalam tindakan-tindakan merusak terhadap masyarakat lokal dan para pekerjanya sendiri. Para perusahaan HPH juga melalaikan kewajibannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dan melakukan rehabilitasi lingkungan.

Kecenderungan Kegiatan Illegal


Operasi pembalakan di luar batas konsesi: ProBELA menemukan bahwa semua perusahaan yang diinvestigasi melakukan pembalakan di luar kawasan konsesi perusahaannya, bahkan seringkali merambah Kawasan Hutan Adat atau kawasan Taman Nasional. Di Papua ditemukan bahwa PT Artika Optima Inti Unit I, misalnya, telah dan terus melakukan pembalakan di Taman Nasional Gunung Lorentz. Perusahaan lain, misalnya, PT Timber Dana di Kalimantan Timur, telah secara sepihak mengklaim dan membalak kawasan hutan adat. Hal ini mengakibatkan konflik yang serius dengan masyarakat lokal. Illegal logging juga ditemukan merata di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatra Utara.

Menebang spesies yang dilindungi, misalnya ulin, tengkawang. Semua perusahaan yang diinvestigasi ditemukan melakukan pelanggaran ini. Menebang di kemiringan lebih dari 45o, mengakibatkan kasus-kasus erosi dan longsor. Pelanggaran ini juga dilakukan oleh semua HPH yang diinvestigasi. Menebang pohon dengan diameter kurang dari 50 cm, sebagaimana diatur oleh TPTI, dan dilakukan oleh semua HPH yang diinvestigasi. Tenaga kerja di bawah umur (di bawah 16 tahun). Satu perusahaan ditemukan melakukan pelanggaran ini, meskipun demikian hal itu mungkin sekedar berarti bahwa tidak semua investigator memperhatikan aspek ini. Kecenderungan menghindari tanggung jawab. Penanaman kembali sekedar sebagai etalase. Penanaman pura-pura ini ditemukan sebagai kecenderungan umum yang dilakukan oleh semua HPH yang diinvestigasi.

Sebagai misal, PT Inhutani II di Kalimantan Tiimur hanya melakukan penanaman kembali di sepanjang pinggir jalan di kawasannya. Tidak ada HPH yang diinvestigasi yang melakukan kegiatan penanaman kembali sesuai aturan pemerintah, juga tidak ada HPH yang melakukan pembibitan sebagai disyaratkan dalam peraturan. Saling lempar tanggung jawab. Banyak perusahaan yang mengkontrakkan kembali konsesinya kepada perusahaan lain. Akibatnya, banyak para kontraktor tersebut yang tidak melakukan kewajiban-kewajibannya, berdalih bahwa mereka sekedar kontraktor saja, misalnya dalam penanaman kembali.

Bantuan sekedarnya kepada masyarakat lokal. Secara legal, HPH bertanggung jawab untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal. ProBELA menemukan bahwa hal tersebut lebih sering diabaikan begitu saja. Perusahaan-perusahaan hanya membantu sekedarnya, misalnya beberapa bahan bangunan, atau uang dua juta rupiah untuk koperasi desa, atau petak percontohan tanaman sekadarnya. Tidak ada HPH yang secara sungguh-sungguh dan berarti terlibat dalam upaya perbaikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat.

Masyarakat Lokal yang Dikorbankan. Konflik atas sumberdaya mengemuka sebagai salah satu dampak yang paling penting dari operasi HPH, khususnya dimana HPH merambah tanah adat dan mengambil akses masyarakat adat atas kawasan-kawasan yang secara tradisional adalah tanah mereka. Banyak komunitas, misalnya beberapa suku di Asmat, Papua, yang kemudian tercerabut dari tanah kehidupannya melalui perburuan dan pengumpulan. Salah satu akibatnya berupa munculnya kasus-kasus “benci-sayang”. Di satu pihak masyarakat lokal membenci perusahaan karena telah merampas tanah adatnya, di lain pihak seringkali masyarakat adat kemudian tergantung pada perusahaan untuk penyediaan tenaga kerja dan pemasukan cash. Hal ini ditemukan khususnya di Papua.
Sementara itu, komunitas-komunitas di Kalimantan Timur dan Sumatra cenderung untuk bereaksi secara lebih terbuka menentang perusahaan-perusahaan HPH.

Sangat sedikit kemenangan yang diraih masyarakat. Setelah masyarakat lokal dirampok kekayaannya secara fisik dan ekonomi, melalui perampasan sumber daya alamnya, banyak masyarakat lokal kemudian berpaling ke kegiatan-kegiatan ilegal. Pada banyak kasus, para penebang liar yang bekerja di lapangan hanya dibayar Rp 10.000 per hari. ProBELA menemukan suatu indikasi kuat bahwa kegiatan-kegiatan illegal itu sebenarnya didanai dan disponsori oleh para raja kayu yang biasanya juga memiliki konsesi di seputar wilayah tertentu.

Tindakan Segera

Hasil-hasil investigasi ProBELA bukan merupakan kejutan lagi, hal ini sudah merupakan pengetahuan umum bahwa para raja kayu di Indonesia telah lama terlibat dalam dalam praktek-praktek korupsi dan kolusi politik sejak mereka membangun kerajannya. Membuktikan kesalahan para raja kayu tersebut bukanlah tujuan utama investigasi-investigasi tersebut.
Investigasi ini dilakukan untuk menyediakan basis yang kuat bagi ornop dan masyarakat lokal untuk melakukan kampanye media yang berhasil untuk menutup HPH dan aktivitas-aktivitas illegal, dengan membawa gambar dan fakta-fakta di mata publik.

Hasil-hasil investigasi juga menyediakan alat yang diperlukan oleh ornop dan masyarakat lokal untuk bernegosiasi dengan pemerintah. Salah satu contoh kasus keberhasilan adalah keberhasilan masyarakat lokal menutup HPH PT MRT di Aceh Selatan.

Rekomendasi dan Tindakan Masa Datang
Hasil Investigasi dan Monitoring, pemantauan, hutan oleh ProBELA sebagai wakil masyarakat sipil menunjukkan bahwa masyarakat sipil memiliki kapasitas dan kepentingan untuk memantau dan mengawasi pengelolaan dan pengusahaan hutan. Oleh karena itu rekomendasi untuk pemerintah adalah:

  1. Diakuinya secara formal dan legal kegiatan-kegiatan dan hasil pemantauan dan pengawasan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, dan wakil-wakil masyarakat sipil lainnya, sebagai pemantauan independen atas pengelolaan hutan.
  2. Dibangunannya mekanisme untuk menampung, mengadopsi dan memanfaatkan hasil-hasil pemantauan independen tersebut ke dalam proses pengambilan kebijakan kehutanan, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional. Sebagaimana usulan FKKM untuk membentuk Dewan Pemantau Kehutanan Nasional yang independen
  3. Berdasarkan hasil pemanatauan independen yang dilaksanakan sepanjang tahun 1998 dan 1999, ProBELA menuntut pemerintah untuk segera menghentikan praktek-praktek kolusi di sektor kehutanan. Kenyataan bahwa semua HPH yang diinvestigasi oleh ProBELA ternyata terlibat dalam kegiatan-kegiatan ilegal adalah indikasi yang kuat bahwa hanya sedikit atau tidak ada HPH yang bersih dari praktek-praktek ilegal dan koruptif.
  4. ProBELA juga menuntut pemerintah dan pihak-pihak yang terkait untuk menghentikan illegal logging, khususnya melalui penutupan HPH dan raja kayu yang terlibat, membongkar infrastruktur illegal logging, dan audit atas industri perkayuan legal dan illegal.

Chandra Kirana & A. Ruwindrijarto
Telapak Indonesia – Desember 1999
Sumber laman:
http://web.archive.org/web/20020927230350/http://www.telapak.org/html/pb1.html

Categories

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

By signing up this email, you are agreeing to receive news, offers, and information from Kaoem Telapak. Click here to visit our Privacy Policy. Easy unsubcribe links are provided in every email.