Bangkok, 214 Oktober 2004: CITES (Convention on International Trade of Endangered Species of Fauna and Flora) merupakan sebuah konvensi internasional yang ditandatangani oleh 166 negara di dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi (menandatangani) konvensi tersebut. Setiap 2 tahun sekali, dilakukan pertemuan reguler atau dikenal dengan nama Conference on Parties (CoP) diantara negaranegara penandatangan konvensi tersebut. Dalam setiap CoP dilakukan pembahasan detil mengenai halhal yang menyangkut administrasi dan kesepakatan mengenai aturan perdagangan atas jenisjenis satwa maupun tumbuhan terancam punah di dunia. Aturan perdagangan tersebut dikenal dengan istilah Appendix yang terdiri atas Appendix I, II, dan III.
Telapak, sebagai sebuah organisasi lingkungan nonPemerintah di Indonesia telah mengikuti perkembangan konvensi ini sejak tahun 2001. Ketika itu Telapak bersama EIA telah memberikan rekomendasi pada Pemerintah Indonesia untuk menetapkan jenis kayu Ramin (Gonystylus spp.) pada Appendix III CITES dengan kuota nol. Sejak itulah Telapak kemudian turut menghadiri acara CITES CoP ke12 yang diselenggarakan pada akhir tahun 2002 di Santiago, Chile.
Pada tahun 2004 ini, CITES CoP ke13 kali diselenggarakan pada tanggal 214 Oktober 2004 di Bangkok, Thailand, yang dibuka secara resmi oleh Perdana Menteri Thailand Thaksin Sinawatra yang secara tegas memberikan komitmen negaranya untuk menjadi contoh bagi negaranegara di Asia dalam hal memperjuangkan pengelolaan perdagangan yang lestari terhadap spesiesspesies flora dan fauna yang langka. Thailand akan selalu berusaha lebih maju dari negaranegara Asia lainnya dalam hal penegakkan hukum dan pengawasannya. Dalam konferensi kali ini, Telapak mengirimkan 3 orang utusan yaitu M. Yayat Afianto, M. Imran Amin, dan Hapsoro. Konferensi kali ini merupakan kejadian istimewa bagi Telapak karena ketiga utusannya mengemban tugas yang cukup berat dan terkait langsung dengan kampanye Telapak. Telapak melakukan sejumlah pekerjaan lobby dengan negaranegara anggota CITES lain untuk mendukung Proposal Ramin (Gonystylus spp.) pada Appendix II dengan anotasi #1 dan proposal Gaharu (Aquillaria spp.) pada Appendix II dari Indonesia. Pada isu laut, Telapak mentargetkan diterimanya proposal Ikan Napoleon (Cheilinus undulatus) pada Appendix II, sekalipun bukan merupakan usulan dari Indonesia.
Selain dari Telapak, beberapa NGO Indonesia juga turut menghadiri konferensi tersebut seperti ProFauna (Hardi Baktiantoro), BirLife International Indonesia Programme (Ria Saryanthi dan Ani Mardiastuti), serta seorang wakil dari Jaringan Pusat Penyelamatan Satwa Indonesia (Faisal Fuad). Dari pihak swasta di Indonesia, konferensi ini dihadiri juga oleh asosiasi eksportir satwa (reptil dan burung) serta asosiasi eksportir karang dan ikan hias (AKKII). Sementara itu delegasi Pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen PHKA (Koes Saparjadi), diwakili oleh Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, LIPI, dan P3OLIPI.
Secara umum, wakil dari Telapak dapat dikatakan berhasil mencapai target yang direncanakan pada konferensi ini, baik dari hasil akhir yang dihasilkan maupun dari segi prosesproses kerja yang dibangun selama melakukan lobby. Berikut beberapa uraian mengenai upaya Telapak yang terkait dengan konferensi tersebut.
Lobby awal dengan negara anggota CITES
Pertemuan lobby dengan negaranegara anggota CITES, terutama pada negara yang terkait langsung dengan proposal Ramin dan Gaharu dari Indonesia sudah mulai dilakukan sejak pertemuan CITES Regional Asia di Manila bulan Juli 2004. Untuk isu Ramin, Jepang, Malaysia, dan China merupakan negaranegara yang menjadi target utama pada upaya lobby dari Telapak. Dalam pertemuan regional tersebut, Jepang menyetakan tidak akan menolak proposal Indonesia untuk Ramin, sedangkan China belum menyatakan posisi resminya. Namun, Malaysia menyatakan akan menolak proposal Ramin dari Indonesia ini. Sementara itu sebagian negaranegara lain yang hadir belum memiliki posisi resmi dan sebagian lagi menyatakan akan mendukung proposal ini.
Untuk isu Gaharu, hanya negaranegara Timur Tengah yang menyatakan dengan jelas menolak porposal ini dengan alasan proposal Indonesia tidak mencantumkan Annotasi (lampiran keterangan). Pada kenyataannya, Indonesia telah mengirimkan surat resmi kepada sekretariat CITES untuk memasukkan Annotasi #1 pada proposal gaharu tersebut. Perlu diketahui bahwa Timur Tengah menjadi pasar utama Gaharu dari Indonesia.
Untuk isu Napoleon, Telapak telah melakukan lobby kepada Pemerintah Indonesia untuk mendukung proposal yang diajukan oleh Fiji, Irlandia atas nama negaranegara EU, dan Amerika Serikat. Upaya ini dilakukan pada sejumlah pertemuan dengan pihak CITES Management Authority dan Scientific Authority di Jakarta dan Bogor. Namun, proposal ini ditentang keras oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan hingga para delegasi Indonesia sampai di Bangkok pada konferensi CITES belum ada kesepakatan untuk mendukung atau menolak proposal tersebut. Dengan kondisi ketidakpastian ini, Telapak menyiapkan sebuah kertas posisi yang menjadi bahan lobby untuk mendukung masuknya Napoleon dalam Appendix II CITES.
Lobby dinner dengan delegasi negara‐negara Amerika Latin
Acara ini terselenggara atas usulan dari Telapak bersama dengan sejumlah NGO internasional kepada Pemerintah Indonesia. Kepentingan utama dari acara ini lebih didasarkan pada memperkuat posisi Indonesia sebagai negara pengusul untuk Ramin. Alasan politis yang dipergunakan adalah bahwa pada CoP ke12 di Santiago yang lalu, Indonesia telah memberikan dukungannya atas masuknya BigLeaf Mahogany dalam Appendix II CITES yang diusulkan oleh negaranegara Amerika Latin.
Pada acara ini delegasi Indonesia mengundang 22 negara dari Amerika Tengah dan Amerika Selatan untuk menghadiri acara makan malam. Acara ini berjalan cukup sukses, sekalipun hanya 15 negara yang dapat hadir. Namun setidaknya secara politis Indonesia telah melakukan upaya yang cukup elegan dalam menggalang dukungan dari negara negara tersebut untuk mengontrol perdagangan jenis kayu komersial yang terancam akibat praktek illegal logging.
Konferensi Pers mengenai Ramin dan Orangutan bersama SSN
Pada tanggal 11 Oktober 2004, Telapak bersama dengan Greenpeace SouthEast Asia, EIA, GRASP (Great Ape Survival Project) dan SSN (Species Survival Network) menyelenggarakan konferensi pers yang merupakan sideevent dalam CoP ke13.
Konferensi pers ini bertajuk “Count down to extinction; Orangutans and Ramin”. M. Yayat Afianto dari Telapak berkesempatan memberikan presentasi 10 menit yang menjelaskan tentang kondisi hutan dan Ramin di Indonesia serta apa yang akan terjadi bila eksploitasinya dibiarkan terus. Presenter lain dalam acara tersebut menjelaskan kondisi terkini penyelundupan ramin ke Malaysia dan kepentingan konservasi Ramin yang dikaitkan dengan penyelamatan Orangutan.
Secara tidak terduga acara ini memperoleh tanggapan luar biasa dari para peserta konferensi pers. Selain dukungan dari sebagian besar NGO yang hadir, beberapa delegasi negara lain, seperti negaranegara Afrika juga cukup besar. Sebagian besar negaranegara di Afrika telah bersepakat untuk bergabung dalam proyek konservasi Kera Besar (GRASP). Pada sesi tanya jawab, Widodo S. Ramono yang hadir mewakili delegasi Indonesia mendapat kesempatan juga untuk menjawab beberapa pertanyaan dari pers yang terkait dengan Ramin dan Orangutan, khususnya mengenai upayaupaya yang telah dilakukan pemerintah dalam melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan penyelundupan Orangutan.
Perlu diketahui, pada saat yang bersamaan sekitar 140 ekor Orangutan dari Indonesia telah diselundupkan ke Thailand untuk kepentingan pertunjukkan satwa. Acara konferensi pers ini juga sekaligus menjadi ajang kritik bagi Pemerintah Thailand yang tidak kooperatif pada upaya pengembalian Orangutan tersebut ke Indonesia.
Keberhasilan Ramin masuk Appendix II CITES dengan Anotasi #1
Setelah sejumlah lobby informal yang dilakukan oleh Telapak bersama dengan sejumlah NGO yang tergabung dalam SSN dan delegasi Indonesia, akhirnya Ramin berhasil mendapatkan dukungan dari sebagian besar negara penandatangan CITES.
Ketika dilakukan pembahasan mengenai proposal ini, Malaysia memperoleh kesempatan untuk memberikan intervensi. Dalam intervensinya, Malaysia menyatakan untuk menolak proposal ini dengan alasan bahwa Anotasi #1 tidak akan efektif untuk menghalau illegal logging. Sementara itu, Amerika Serikat dan Belanda (mewakili 25 negara Uni Eropa) menyatakan dukungan kuatnya atas dalam intervensi yang dilakukan dengan beberapa alasan efektivitas implementasi CITES Appendix II Anotasi #1 untuk menghentikan illegal logging dan penyelundupan jenis kayu ini. Telapak sendiri mendapatkan kesempatan yang berharga untuk melakukan intervensi. Intervensi Telapak dibacakan oleh Hapsoro yang menjelaskan keterkaitan antara tidak terkontrolnya perdagangan Ramin yang dengan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.
Dalam kesimpulan akhir, para peserta sidang bersepakat secara konsensus untuk menerima usulan Indonesia. Sebuah keberhasilan besar bagi Telapak dan delegasi Indonesia.
Keberhasilan Gaharu masuk Appendix II CITES
Permasalahan awal tentang keterlambatan pendaftaran anotasi #1 oleh Pemerintah Indonesia saat pertemuan regional bulan Juli lalu sempat terungkap kembali dalam sidang kali ini. Permasalahan ini menyebabkan kebingungan untuk menentukan posisi bagi negaranegara lain di luar Indonesia dan penentangnya, yaitu negaranegara Timur Tengah. Pada sidang mengenai Gaharu, akhirnya diputuskan untuk melakukan pembahasan terpisah dalam working group. Tiga hari kemudian pembahasan proposal ini dibuka kembali.
Ketika pembahasan secara pleno dibuka kembali, ternyata masih belum dihasilkan kesepakatan dalam working group. Pemimpin sidang akhirnya memutuskan untuk melakukan pengambilan suara (voting) terhadap proposal Indonesia tersebut. Hasil penghitungan suara ini akhirnya memutuskan untuk menerima masuknya Gaharu dalam Appendix II dengan anotasi #1 di dalamnya. Negaranegara Timur Tengah pun tidak mengajukan reservasi terhadap keputusan tersebut.
Keberhasilan Ikan Napoleon masuk Appendix II CITES
Lobbylobby Telapak berbekal kertas posisi yang telah disiapkan sebelumnya ternyata cukup efektif bagi keberhasilan masuknya jenis ikan ini dalam daftar Appendix II CITES.
M. Imran Amin sebagai utusan utama Telapak untuk isu kelautan berhasil melakukan sejumlah lobby informal dengan negaranegara Asia Tenggara, Afrika, Pasifik, Eropa, dan Jepang, bahkan membangun lopby khusus dengan delegasi Amerika sebagai proponent untuk meminta Indonesia memberikan dukunganya terhadap proposal mereka. Telapak juga melakukan komunikasi langsung dengan pihak Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta untuk memastikan dukungan departemen tersebut terhadap proposal yang diusulkan oleh Amerika Serikat tersebut. Pada saatsaat terakhir, problem internal pada delegasi Indonesia dapat terselesaikan dengan baik melalui konsensus antara Pemerintah dan NGO untuk mendukung proposal ini.
Ketika dilakukan pembahasan, kembali secara mengejutkan tidak ada upaya yang kuat dari China, Jepang dan Norwegia atas proposal Napoleon. Kejadian ini sungguh di luar dugaan semua pihak dalam CoP kali ini. Hal ini didasarkan atas pengalaman selama ini dalam setiap CoP dimana negaranegara tersebut selalu berposisi negatif pada upaya konservasi jenisjenis biota laut. Sementara secara tidak terduga Indonesia juga melakukan intervensi untuk menyatakan dukungan pada proposal tersebut. Keberatan yang sempat diungkapkan oleh China dan sebuah negara kecil di Karibia ternyata juga tidak membuat pembahasan menjadi alot. Di akhir sidang, akhirnya proposal Napoleon ini diterima secara konsensus untuk masuk dalam Appendix II CITES.
Catatan Penting Telapak setelah CITES CoP 13 Bangkok
- Secara politis, Telapak perlu membuat surat resmi yang menyatakan penghargaan atas upaya delegasi Indonesia dalam CITES CoP 13 terkait isu Ramin,Gaharu, dan Napoleon kepada Menteri Kehutanan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Luar Negeri.
- Telapak perlu melakukan monitoring lanjutan terhadap perdagangan kayu Ramin dan Napoleon untuk memastikan implementasi CITES di Indonesia.
- Pengalaman dalam CITES CoP 13 ini sebaiknya dapat menjadi dasar bagi upaya Telapak untuk menggunakan instrumen CITES dalam mengontrol perdagangan jenis jenis kayu terancam punah di Indonesia.