10 November 2009, Jakarta. Rencana perluasan perkebunan di Papua harus segera dihentikan dan ditinjau ulang menyusul banyaknya keprihatinan atas deforestasi besar-besaran dan eksploitasi masyarakat lokal, demikian diperingatkan para pegiat lingkungan hari ini.
Sebuah laporan baru yang dirilis oleh Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) – berjudul “Up for Grabs” – memperlihatkan bagaimana lima juta hektar lahan, sebagian besar hutan, sedang menjadi sasaran banyak perusahaan yang mengejar keuntungan dari tingginya permintaan akan biofuel yang berasal dari tanaman seperti kelapa sawit dan komoditas lainnya. Perampasan tanah ini memprovokasi terjadinya konflik dengan masyarakat lokal dan mengancam wilayah hutan tropis terbesar ketiga yang tersisa di Bumi.
Penyelidikan lapangan yang dilakukan oleh Telapak/EIA di tujuh lokasi di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat selama tahun 2009 mengungkap gambaran suram eksploitasi pemilik hak ulayat yang direstui oleh pemerintah; banyak dari mereka yang terjerat, tertipu dan kadang dipaksa untuk melepaskan sebagian besar dari lahan hutan untuk perkebunan dengan diimingi janji-janji manfaat pembangunan yang tak terpenuhi seperti perbaikan transportasi, pendidikan, dan perumahan.
Dalam satu kasus, Telapak/EIA mendapati seorang anak laki-laki berumur empat tahun, putra seorang pemilik hak ulayat, yang harus menandatangani kontrak sehingga perusahaan perkebunan bisa menjamin kontrol terhadap tanah tersebut selama puluhan tahun.
Laporan baru ini mendokumentasikan meluasnya ketidakpuasan masyarakat lokal yang dibujuk melepaskan tanahnya untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Kompensasi atas pelepasan tanah tersebut luar biasa rendah – harga tertinggi yang dibayarkan adalah Rp 450.000 per hektar untuk 35 tahun sewa, sementara harga terburuk adalah Rp 15.000 per hektar. Telapak/EIA juga menemukan perusahaan yang membuka hutan untuk perkebunan secara ilegal sebelum izin yang diperlukan telah diperoleh, dengan sepengetahuan pemerintah.
Juru bicara Telapak, Hapsoro mengatakan: “Perusahaan menipu orang Papua agar menyerahkan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dengan janji-janji kosong tentang kesejahteraan masa depan mereka. Ini semua terjadi dengan restu pemerintah atas nama pembangunan”.
Merebaknya perkebunan di Papua didorong oleh sejumlah kebijakan pemerintah yang mempromosikan pengembangan biofuel, terutama kelapa sawit, namun pengelolaan sektor ini kacau-balau dan tidak transparan. Pemerintah bermaksud untuk memperluas wilayah perkebunan kelapa sawit dari enam juta hektar menjadi 20 juta hektar. Sebagian besar pertumbuhan besar ini direncanakan di Papua karena sebagian besar hutan Sumatera dan Kalimantan telah berubah menjadi perkebunan. Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia pada tahun 2007.
Harga tanah yang murah untuk perkebunan, ditambah dengan sejumlah besar kayu berharga dari hasil pembukaan hutan, telah menarik minat perusahaan-perusahaan besar Indonesia, dan menyebabkan investor luar negeri masuk ke Papua. Telapak/EIA mengungkapkan sebuah perusahaan dari Hong Kong yang terdaftar di negara bebas pajak di luar negeri mendapatkan lebih dari 300.000 hektar lahan berhutan lebat di selatan Papua. Dalam publikasinya, perusahaan itu mengklaim akan “memperbaiki” hutan dengan membabat 200.000 hektar dan menggantinya dengan kelapa sawit untuk memasok biofuel ke negara-negara industri yang berusaha mengurangi emisi karbon.
Ketika pertemuan iklim Kopenhagen sudah semakin dekat, konsekuensi dari deforestasi besar-besaran hutan Papua untuk dikonversi menjadi perkebunan jelas negatif. Penelitian ilmiah di Indonesia menunjukkan bahwa mengganti hutan yang utuh atau bekas tebangan menjadi perkebunan kelapa sawit untuk biofuel telah berdampak buruk terhadap emisi gas rumah kaca.
Jago Wadley, Juru Kampanye Hutan Senior EIA mengatakan: “Dewan Perubahan Iklim Indonesia mengakui bahwa deforestasi harus diatasi jika Indonesia ingin mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemerintah juga telah menyatakan bahwa biofuel tidak berarti deforestasi. Namun penyelidikan Telapak/EIA telah menemukan deforestasi besar-besaran di Papua yang didorong oleh permintaan nasional dan internasional akan biofuel atas nama perubahan iklim. Ini adalah ketidaklogisan kebijakan tingkat tinggi karena Indonesia merupakan negera pengemisi karbon terbesar ketiga di dunia akibat hilangnya hutan dengan cepat”.
Telapak/EIA menyerukan agar Pemerintah Indonesia menghentikan pemberian ijin perkebunan di Papua sampai diberlakukannya kebijakan yang kuat untuk mendukung hak-hak masyarakat adat/lokal dan melindungi hutan. Telapak/EIA juga sekaligus menyeru kepada masyarakat internasional untuk menangani peran konsumsi komoditas perkebunan dan kayu sebagai penyebab utama deforestasi.
— SELESAI —
Narahubung:
- Jago Wadley, EIA: +62 813 86621940 (mobile); Email: jagowadley@eia-international.org
- Hapsoro, Telapak: +62 815 85719872 (mobile); Email: hapsoro@kaoemtelapak.org
Catatan Untuk Editor:
- Environmental Investigation Agency (EIA) adalah organisasi lingkungan nirlaba dan independen yang berbasis di London dan Washington DC. Informasi lebih lanjut terdapat di www.eia-international.org
- Telapak adalah organisasi lingkungan independen berbasis di Bogor, Indonesia. Informasi lebih lanjut terdapat di www.telapak.org
- Papua and Papua Barat memiliki wilayah hutan terbesar yang tersisa di Indonesia, selepas satu dekade eksploitasi hutan yang destruktif dan ilegal di tempat-tempat lain di Indonesia.