Kaoem Telapak bekerja sama dengan Mongabay Indonesia mengadakan peluncuran buku dan diskusi secara online pada Kamis, 13 April 2023.
Buku berjudul Di Antara Janji Kesejahteraan dan Dampak Sosial Lingkungan; Sebuah Penelusuran Jurnalistik Mengenai Industri Sawit di Indonesia merupakan hasil investigasi 22 jurnalis yang mendapatkan fellowship dari Kaoem Telapak di tahun 2022 lalu.
Dalam sesi sambutan diskusi, Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak memaparkan data industri sawit di Indonesia. Luas lahan sawit di Indonesia yang mencapai lebih dari 15 juta hektar mampu memproduksi minyak sawit sebanyak 47 juta ton dan mengekspor 36 juta ton dengan valuasi sekitar 15,8 miliar dolar Amerika. Namun dibalik kemampuan sawit memberikan banyak pemasukan ke Indonesia, praktik industri sawit kerap bermasalah. Dari mulai persoalan pencaplokan lahan hutan, konflik dengan warga lokal, perubahan ekosistem, sampain dengan korupsi izin perkebunan, kerap terjadi di industri sawit, “Inilah yang menyebabkan citra sawit Indonesia menjadi buruk,” ungkap Minangsari.

Mardi Minangsari, Presiden Kaoem Telapak, memberikan sambutan pembukaan diskusi
Untuk menilik persoalan dalam industri sawit lebih lanjut, Kaoem Telapak dan Mongabay Indonesia memberikan fellowship pada para jurnalis agar mendapat gambaran yang jelas tentang situasi terkini industri sawit di lapangan.
Ridzki R. SIgit, Head Operation of Mongabay Indonesia, menjelaskan bahwa banyak persoalan sawit yang ditemukan oleh para jurnalis. Ada persoalan tentang perjuangan petani dalam berkebun sawit, persoalan ruang hidup masyarakat lokal yang berkonflik dengan perkebunan sawit, persoalan dampak perkebunan sawit terhadap ekologi dan lingkungan, persoalan dinamika hubungan petani dengan korporasi sawit, dan paktik baik petani kecil dalam mengelola kebun sawit yang lebih berkelanjutan. “Persoalan tersebut terbagi dalam lima bab dalam buku ini,” ungkap Ridzki.
Dalam sesi diskusi, Kaoem Telapak dan Mongabay Indonesia mengundang empat narasumber untuk membedah buku ini. Para narasumber itu adalah Abetnego Taringan dari Kantor Staf Kepresidenan RI, Diah Suradiredja dari Yayasan Kehati, Sri Palupi dari Ecosoc Rights, dan Siswadi dari APCH Jambi yang akan memaparkan situasi petani kecil sawit.

Para narasumber sesi diskusi peluncuran buku
Abetnego Tarigan mengatakan bahwa buku ini merupakan catatan yang penting karena masih ada persoalan dalam industri sawit yang mesti ditangani lebih jauh. Dia pun menjelaskan bahwa sikap presiden bisa dilihat dari regulasi yang diterbitkan, “Rangkaian kebijakan lebih ke condong ke peningkatan produktivitas, peningkatan nilai tambah, dan resolusi konflik,” ungkapnya.
Bagi Diah Suradiredja, buku ini merupakan hasil investigasi yang menarik untuk dibaca. Kasus yang diangkat dalam buku ini memperlihatkan proses bisnis di lapangan. Diah pun memberikan masukan untuk buku ini, menurutnya opini dalam buku ini masih terbatas di lingkaran NGO, sehingga masih perlu ada investigasi lanjutan. “Perlu ada investigasi lanjutan, untuk mencari solusi,” ungkap Diah.
Sementara itu, Sri Palupi mengungkapkan buku ini membatu orang awam untuk memahami persoalan sawit di Indonesia. Dia pun mengapresiasi keberagaman wilayah dan kasus yang ada dalam buku ini. Namun menurutnya penting pula memberikan informasi tambahan terkait latar belakang pemilihan lokasi, pemilihan kasus yang diangkat, serta pemilihan narasumber.
Untuk persoalan petani kecil sawit, Siswadi dari Asosiasi Petani Cahaya Harapan mengungkapkan bahwa tantangan yang dihadapi petani sampai saat ini adalah persoalan pendanaan. Untuk mendapatkan sertifikat RSPO saja, para petani mesti keluar uang setidaknya 100 juta per tahun. Ditambah lagi, pengetahuan dan kapasitas petani tentang sertifikasi masih kurang. Pembinaan dari pemerintah pun masih jauh dari harapan.
Minangsari mengungkapkan bahwa jika ingin membahas sawit Indonesia maka harus pula membicarakan pula petani swadaya, terutama mengenai keadaan mereka. Isu kelompok petani swadaya sawit ini pun diangkat oleh para jurnalis dan disertakan dalam kompilasi buku ini.
Mewakili Kaoem Telapak, Minangsari berharap buku ini bisa memberikan benang merah dan inspirasi perbaikan tata kelola sawit ke hadapan pembaca, “Harapannya dari Kaoem Telapak, dari buku ini bisa mendapat gambaran mengenai situasi terkini tata kelola sawit, lalu mengabarkan ada inisiatif dilakukan pada level tapak yang semoga menjadi inspirasi melakukan perbaikan pada tata kelola sawit, sehingga sawit Indonesia tidak lagi memiliki citra negatif, tetapi menjadi produk unggulan yang dikelola lestari, tidak menimbulkan masalah sosial, serta mensejahterakan petani,” ungkapnya.