Setiap pagi, Putro Santos Kurniawan atau Putro (43), telah bersiap di atas kendaraan roda duanya. Tujuan dia adalah lahan pertanian yang berjarak 30 menit dari kediamannya di desa Ciareteun Ilir Kecamatan Cibungbulan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Aktivitas ini telah digelutinya sejak 15 tahun terakhir. Putro adalah seorang petani. Dengan lahan seluas 1.3 Hektar plus empat orang karyawan, dia terbilang cukup sukses. Lahan garapan ditanami dengan berbagai sayuran, seperti bayam, kangkung, caisim, okra dan beberapa jenis sayuran lainnya. Setengah dari lahan tersebut merupakan lahan tanaman organik. Hasil panen dinikmati sendiri dan sebagian besar dijual. Ada yang dijual ke supermarket melalui supplier, ada juga yang ke pasar konvensional melalui tengkulak. Meski bapak dua orang anak ini seorang lulusan IPB dari Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan, Putro sangat menikmati harinya sebagai petani. Baginya, menyemangati para petani akan lebih baik jika dirinya pun menjadi seorang petani.
Sebelumnya, tidaklah terpikir bagi seorang Putro untuk bertani dan menjadi petani. Sejak muda dan masih duduk di bangku kuliah, mantan aktivis lingkungan dan pesisir ini menghabiskan banyak waktunya bekerja di area non-pemerintahan. Berbilang tahun dia habiskan waktunya di laut dan pesisir, seperti di Jaringan Pesisir Laut Indonesia (Jaring PELA), program pesisir laut WWF dan program Coral 2000 untuk monitoring terumbu karang di pesisir Bali, sampai dia membentuk LSM sendiri bernama Palung yang waktu itu bekerjasama dengan Yayasan KEHATI di Kepulauan Seribu.
“Masih darah muda, kuat dan berani. Dulu!” Kata Putro tertawa.
Jenuh. Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang tersirat di benaknya. Tidak konsistennya pekerjaan di LSM karena menunggu project tiba, selain itu juga gerahnya rasa memainkan peran ‘pemanas’ untuk mengajak orang lain peduli, membuatnya mulai melirik sektor real.
Keinginan ini terjawab dari diskusi kecil bersama penggiat lingkungan beberapa masa yang lalu. Kala itu, Putro yang masih aktif sebagai seorang aktivis lingkungan pesisir dan bertualang ke berbagai daerah di Indonesia memutuskan keluar dari LSM dan menjadi petani.
Dimulai dengan Putro menyewa lahan pertanian seluas 2.000 meter persegi di Tapos pada tahun 2004. Putro bersama seorang teman aktivis bernama Titis, memulai hidup sebagai petani. TIdak lama kemudian, mereka mulai aktif berdiskusi dengan Serikat Petani Indonesia (SPI) dan mengikuti program Pendidikan untuk Pertanian Berkelanjutan Berbasis Keluarga Petani yang diadakan SPI di tahun yang sama.
Setelah itu, Putro dan temannya menyewa lahan pertanian di dekat kampus IPB, dan kemudian merintis pusdiklat SPI. Pada tahun 2006, Putro mulai mencicil untuk membeli lahan pertanian sendiri sampai saat ini sudah mencapai satu hektar. dari menyewa 0.3 hektar dari petani lain, total lahan yang dikelola saat ini adalah 1.3 hektar. Saat ini dapat dikatakan Putro sudah menjadi petani yang cukup berhasil. Dari luas lahan garapan tersebut, 50% sudah mendapat sertifikat organik, hasil kerja sama dengan ADS (Agribusiness Development Station) IPB, sebuah unit bisnis di bawah Unit Science dan Technopark IPB.
Saat ini, dari luas lahan garapan itu, 50% merupakan lahan tanaman bersertifikat organik hasil kerjasama dengan IPB ADS (Agribussiness Development Station).
“Kami memasok panen organik ini ke IPB ADS. ADS inilah yang akan menyuplai ke supermarket-supermarket,” terang Putro. Selain ke ADS, dia juga menyuplai langsung ke beberapa supermarket dan toko-toko yang berdekatan dengan wilayahnya.
Meski harus melalui berbagai prosedur, produk yang ditawarkan ke pasar juga membuahkan harga yang cukup tinggi.
Animo masyarakat akan pangan yang sehat dan bebas bahan kimia saat ini mengalami peningkatan. Bagi petani, harga yang dihasilkan dari tanaman organik juga menjawab kebutuhan akan kesejahteraan mereka, namun lahan yang bersertifikasi masihlah kurang luas untuk menjawab tantangan tersebut.
Putro dan 15 petani di desanya membangun kelompok produksi. Sebulan sekali, mereka mengadakan pertemuan dengan berbagai agenda. Misalnya, membagi petani untuk menanam jenis komoditas tertentu, kualitas dan pengolahan komoditas yang baik, pembuatan pupuk organik, mendiskusikan kuota panen, hingga ketersediaan pasar yang baru.
“Dalam sehari, satu petani bisa menghasilkan 30 kilogram jenis sayuran organik. Terkadang, ada jenis sayuran yang tidak tersedia karena minimnya lahan atau gagal panen. Waktu lain, semua jenis tanaman membludak hingga harus diberlakukan antrian hasil panen ke supplier, makanya diatur,” kata Putro.
Dari supplier, produk mereka kemudian akan dipasok ke supermarket yang bekerja sama dengan penyuplai. Meski menuai penghasilan memadai, Putro merasa ada yang kurang. Keinginannya agar petani bisa bersentuhan langsung dengan konsumen belum terjadi.
“Pinginnya bisa langsung dengan konsumen, ada diskusi, pencerahan dan transfer pengetahuan tentang sayuran organik. Dengan demikian, akan ada rasa saling menghormati antara petani dan konsumen. Petani mendapat penghargaan atas upayanya, dan konsumen mendapat pengetahuan tentang sumber pangan yang sehat,“ Putro menambahkan.
Sebelumnya, dia pernah melakukan percobaan agar keinginan itu bisa terwujud. Metode yang dipakai pun beragam. Mulai dari door to door hingga mengikat kerja sama dengan organisasi PKK setempat. Sayangnya percobaan ini tidaklah efisien bagi petani. Menurutnya lagi, supermarket masih bukan tempat yang ideal bagi pemasaran produk-produk organik, karena komunikasi antara produsen dan konsumen tetap tidak terjadi.
“Jika produk petani punya wadah khusus, ada sharing pengetahuan, ada interaksi, patokan harga yang bisa menaikkan nilai tukar petani tetapi tidak membelit konsumen, itu malah jauh lebih baik.”
Saat ini, menurut Putro, kehadiran pihak ketiga yang mampu mengorganisasikan dan menjadi sarana berbagi pengetahuan sangatlah dibutuhkan, agar petani bisa lebih berkonsentrasi untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan konsumen pun memiliki pengetahuan konsumsi pangan yang lebih baik. Hubungan langsung antara petani dan konsumen juga berpeluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani, karena tidak lagi tergantung kepada tengkulak. Jika ada pihak ketiga semacam ini, Putro berkata akan bisa fokus pada penyiapan diversifikasi hasil pertaniannya.
“Ada kapal dagang, ada kapal perang” kata Putro.
Presiden Perkumpulan Kaoem Telapak Zainuri Hasyim bangga dengan pencapaian Putro. Sebagai salah satu anggota perkumpulan, menurut Zainuri, Putro telah melakukan hal yang selaras dengan tujuan organisasi.
“Karena organisasi ini berdiri untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan martabat kaum petani, nelayan dan masyarakat adat Indonesia.” imbuh Zainuri.
adalah Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang berperan aktif dalam dalam pemantauan, pendampingan, dan mendorong perbaikan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Alamat. Jalan Sempur No.5 RT.01 RW.01 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. 16129, Indonesia
Telp. (+62) 251-8576-443 | Email. kaoem@kaoemtelapak.org
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.