Donasi

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

berjuang untuk keadilan ekologi

Pemberdayaan Masyarakat melalui Kewirausahaan Kehutanan di Provinsi Lampung

Advokasi legalitas pengelolaan lahan bagi masyarakat di sekitar hutan memang perlu, mengingat pentingnya perlindungan lingkungan dan sumber daya alam. Namun, bagi Muhammad Sidik, anggota Kaoem Telapak asal Lampung, fokus pada aspek legalitas saja tidaklah cukup. Dia percaya bahwa pendampingan dalam tata kelola kewirausahaan kehutanan juga harus diperhatikan secara serius.

Muhammad Sidik lahir di kota Medan, Sumatera Utara. Sejak tahun 1996, dia telah aktif dalam isu konservasi hutan, bekerja sama dengan Yayasan Leuser Lestari (YLL), dan tergabung dalam organisasi Alam Bebas Sangkala. Sidik melakukan pemantauan hutan dan investigasi di Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivisme inilah yang membawanya berjumpa dengan Kaoem Telapak pada tahun 1998 yang saat itu masih bernama Telapak. Sejak itu, dia semakin dekat dan menjadi bagian dari Kaoem Telapak.

Waktu terus bergulir, Sidik tetap konsisten bekerja pada isu konservasi hutan. Dia pun masih berperan aktif mendorong masyarakat mendapatkan sertifikat Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan beberapa industri kayu (sawmill) skala kecil di Lampung. Sertifikat SVLK adalah penjamin bahwa kayu yang dihasilkan oleh masyarakat berasal dari sumber yang legal.

Menurut Sidik, terkait isu kehutanan ada beberapa hal yang telah dilakukan terkait kelembagaan, kepastian lahan, dan tata kelola wilayah, yang kerap diperjuangkan adalah soal legalitas pengelolaan. Akan tetapi bila hanya terpaku pada soal legalitas, secara ekonomi masyarakat tidak berkembang. “Oleh sebab itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yakni terkait tata kelola usaha atau kewirausahaan, agar masyarakat meningkat taraf ekonominya,” ujarnya.

Sidik berpendapat bahwa perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan dalam tata kelola usaha atau kewirausahaan. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat meningkatkan taraf ekonominya. Lebih dari sekedar memiliki legalitas pengelolaan yang sah, masyarakat perlu dilibatkan dalam mengelola usaha mereka dengan lebih baik dan berkelanjutan.

Di tahun 2016, Sidik bersama rekan-rekannya mendirikan Perkumpulan Unit Kreatif Industri Rakyat (UKIR) dengan tujuan untuk menghadapi tantangan setelah masa pendampingan program perhutanan sosial. Melalui UKIR, mereka berupaya membantu masyarakat di wilayah Lampung dalam bidang kewirausahaan, dengan fokus pada pembelajaran keterampilan dan pengetahuan tentang berwirausaha.

Saat ini, UKIR sedang mendampingi tiga kelompok masyarakat di Lampung untuk mengolah komoditas kayu dan kopi. Setelah kelompok-kelompok binaan tersebut mencapai kekuatan yang memadai, mereka akan didorong untuk membentuk unit koperasi independen.

Sidik bercerita dengan penuh apresiasi bahwa awal inisiasi UKIR ini didukung oleh Kaoem Telapak. Kaoem Telapak berperan penting dalam menyediakan dukungan kelembagaan, jaringan, dan lingkungan diskusi yang memberi kontribusi besar dalam perkembangan UKIR. “Saya pertama kali belajar mengolah kopi dari Kaoem melalui Dapoer Kaoem,” katanya.

Muhammad Sidik, anggota Kaoem Telapak dari Lampung

Selain itu, ketika Kaoem Telapak mengelola program Usaha Kehutanan Komunitas, UKIR menjadi salah satu penerima manfaat dari program tersebut. Bahkan, UKIR diberi kesempatan pergi ke Guatemala guna memperdalam pengetahuan kewirausahaan dalam bidang kehutanan. Hal ini menunjukkan peran Kaoem Telapak dalam mendukung dan mengembangkan UKIR menuju kesuksesan.

Dalam mengelola pendampingan kewirausahaan di masyarakat, Sidik mengungkapkan ada beberapa tantangan utama yang sering dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut meliputi kebutuhan dalam pengembangan modal usaha, akses terhadap alat produksi, pengetahuan kewirausahaan yang terbatas, dan kualitas produk yang tidak konsisten. “Inilah permasalahan yang ingin diatasi oleh UKIR,” ungkapnya.

Sidik secara aktif membimbing semua kelompok binaan UKIR untuk memperoleh legalitas usaha. Setelah itu, mereka didorong untuk mengurus legalitas produk mereka, seperti izin usaha dan izin PIRT atau BPOM. Tujuan dari langkah ini adalah agar produk-produk yang dihasilkan dapat dijual secara resmi dan bebas. “ Izin resmi ini penting agar produk bisa diterima dan dipercaya oleh masyarakat,” kata Sidik.

Untuk mengatasi masalah akses terhadap alat produksi yang lebih baik, Sidik melakukan fasilitasi dengan membantu kelompoknya untuk berkomunikasi dengan pemerintah daerah. Hasilnya, semua kelompok yang dibina berhasil mendapatkan mesin pemanggang kopi dengan teknologi yang lebih canggih dan efisien. Sebelumnya, alat produksi yang mereka gunakan sangat sederhana dan kurang efisien dalam kapasitas produksi.

Dengan upaya Sidik dan dukungan dari UKIR, diharapkan kelompok masyarakat yang dibinanya dapat mengatasi tantangan-tantangan tersebut dan meningkatkan kualitas serta keberlanjutan usaha mereka.

“Tantangan paling berat adalah bagaimana produksi tetap bertahan,” ungkap Sidik. Ia memberikan contoh dalam produksi kopi, untuk mendapatkan biji kopi berkualitas, petani harus memetik buah kopi yang berwarna merah. Namun, disayangkan, tidak semua petani mau memetik buah kopi yang berwarna merah, dan akibatnya, kopi yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar yang diharapkan.

Menurut Sidik, diperlukan sinergi antara lembaga masyarakat sipil yang bergerak di sektor kehutanan agar dapat menciptakan dampak yang lebih luas dan nyata. “Kewirausahaan kehutanan ini bisa menjadi gerakan serius yang harus dikembangkan,” ungkapnya.

Dengan mengatasi tantangan tersebut dan mengembangkan kewirausahaan kehutanan dengan serius, diharapkan produksi komoditas seperti kopi dapat tetap berlangsung secara berkelanjutan dan sesuai dengan standar kualitas yang diinginkan. “Sinergi antar lembaga dan kolaborasi dengan para petani akan menjadi kunci kesuksesan dalam menjalankan gerakan kewirausahaan kehutanan ini,” kata Sidik.

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print