Mengajarkan rasa cinta terhadap bumi bisa dilakukan dengan berbagai cara. Elisabeth Suwartini, anggota Kaoem Telapak dari Yogyakarta, punya caranya sendiri, yakni dengan mengenalkan pangan lokal pada para muridnya.
Elisabeth Suwartini lahir dan besar di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Elisabeth lahir dari keluarga petani. Dia pun menyebut petani adalah profesi utamanya. Lahan yang dimilikinya tidak luas, namun Elisabeth dan keluarga tetap mengolah lahan itu agar tetap punya hasil bumi.
Selain petani, dia pun menjadi peternak. Kata Elisabeth, menyambi pekerjaan sebagai petani dengan peternak adalah praktik yang lumrah di kampungnya. “Kalau di sini, petani ya peternak juga, dengan beternak petani bisa dapat pupuk secara gratis, jadi tidak harus beli kalau mau tanam-tanam. Lahan yang dimiliki pun ditanami rumput buat pakan ternak, jadi prosesnya mutar,” ujar Elizabeth.
Elisabeth memang telah lama mempraktikkan Tani Lestari, sebuah inisatif mengelola lahan pertanian dengan cara yang ramah lingkungan dan bekelanjutan, di wilayahnya. Sampai di kisaran 2007, Elisabeth bertemu dengan Ruwi, anggota Kaoem Telapak. Ruwi mengenalkan Kaoem Telapak yang saat itu masih bernama Telapak. Mereka pun berdiskusi dengan intens, hingga terbentuklah Koperasi Wana Lestari Menoreh. Salah satu kerja koperasi ini adalah mendorong perdagangan kayu bersertifikat.
“Setelah bergabung dengan Kaoem Telapak, saya jadi tambah semangat, untuk bergerak,” kata Elizabeth.
Tahun 2004, Elisabeth menjadi guru di satu sekolah dasar. Meskipun begitu, dia tetap menempatkan petani sebagai profesi utamanya. Sebagai guru, Elisabeth memberikan tugas kepada para muridnya untuk membawa pangan yang didapat dari kebun mereka sendiri. Ini dia lakukan sebagai upaya menanamkan rasa cinta kepada bumi.
Di sekolah pula, Elisabeth mengajarkan anak didiknya bertani secara Lestari. Anak-anak menanam benih sayur di sekolah, lalu hasilnya mereka masak, dan makan bersama. Selain itu, Elisabeth pun menghimbau orang tua murid untuk membekali anak-anak dengan makanan rumahan bukan yang instan. “Saya himbau orang tua membawakan bekal nasi dan sayur dari kebun sendiri, jadi tidak nasi dengan makanan instan,” Elisabeth menjelaskan.
Elisabeth pun mengatakan kepada orang tua murid, jika terlalu repot membekali nasi, boleh menggantinya dengan karbohidrat lain, contohnya talas rebus, ubi jalar, atau umbi-umbian.
Tidak hanya kepada orang tua murid, Elisabeth juga menghimbau kepada pedagang makanan di kantin sekolahnya agar lebih menyediakan jajanan yang dibuat rumahan bukan pabrikan. Kalaupun pedagang menjual mi, sebaiknya mi yang dimasak dengan bumbu sendiri, “Jadi bukan mi yang hanya diseduh,” ungkapnya.
Elisabeth menjelaskan ada tiga alasan mengapa dia menerapkan pola Konsumsi Lestari semacam ini. Pertama, bahan makanan dari kebun sendiri lebih hemat daripada beli di pasar. Kedua, produk pangannya lebih bersih dan segar. Ketiga, sumber pangannya tidak menggunakan obat kimia sintetis. “Kalau bahan pangan tidak memakai obat kimia sintetis tentunya lebih sehat,” kata Elisabeth.
Selama Elisabeth bergerak membumikan Konsumsi Lestari ini, tidak ada penolakan dari orang tua. Orang tua bisa menyesuaikan diri dengan himbauan Elisabeth. Jika ada anak yang kedapatan membawa makanan instan, makanan itu tetap boleh dimakan, namun Elisabeth akan memberi peringatan dan sayuran kepada anak tersebut. “Perlahan-lahan pasti kebiasaannya akan berubah, saya melakukan ini untuk kepentingan anak-anak sendiri,” ujar Elisabeth.
Menurut Elisabeth, dampak yang terlihat dari kewajiban memakan sayur dan pangan lokal ini membuat anak-anak didiknya terlihat lebih segar dan tidak gampang sakit. Melihat perubahan ini, gerakan Elisabeth mendapat dukungan oleh orang tua murid. Malah kadang ada orang tua murid yang melapor ke Elisabeth tentang anak mereka yang awalnya tidak mau makan sayuran menjadi mau. “Awalnya saya di sekolah yang bergerak, lalu orang tua jadi tergerak, kemudian orang tua pun menggerakkan anggota keluarga lainnya,” kata Elisabeth.
Elisabeth amat berharap, bila nanti para siswanya kelak dewasa, mereka bisa terbiasa mengikuti pola makanan yang sehat. “Konsumsi makanan dengan produk lokal tidak harus keluar uang banyak tetapi lebih sehat. Itu yang utama,” ungkap Elisabeth.
adalah Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang berperan aktif dalam dalam pemantauan, pendampingan, dan mendorong perbaikan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Alamat. Jalan Sempur No.5 RT.01 RW.01 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. 16129, Indonesia
Telp. (+62) 251-8576-443 | Email. kaoem@kaoemtelapak.org
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.