Oleh: Sarah R. Megumi
Keunggulan Indonesia terhadap potensi laut dan pesisir tidak perlu diragukan. Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Potensi ini dapat dikembangkan sebagai destinasi wisata bahari yang unggul dan berdaya saing tinggi.
Cipto Aji Gunawan atau akrab dipanggil Cipto merupakan Anggota Kaoem Telapak yang telah lama bekerja di sektor pariwisata bahari. Saat ini Ia menjabat sebagai Staff Ahli Gubernur Bali Bidang Pariwisata. Sebagai Staff Ahli, Cipto banyak memberi masukan terhadap pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism).
Kecintaan Cipto tehadap laut sudah tumbuh secara natural. Pada tahun 1996, Cipto berprofesi sebagai instruktur selam atau diving bagi anggota Kaoem Telapak. Pria lulusan Doctor American Trinity University ini menggambarkan laut sebagai aset yang sangat berharga.
Awal mula Cipto tergabung menjadi anggota Telapak adalah ajakan dari anggota lain, yakni, Ambrosius Ruwindrijarto atau akrab dipanggil Ruwi. <br.
Awal tahun 2000 Cipto membuka dive center di Bali. Berawal dari pertemuan Cipto dan Ruwi sekitar tahun 2000-an, saat itu Ruwi datang ke kantornya untuk saling bertukar pandangan terkait permasalahan laut Indonesia.
Banyak permasalahan laut Indonesia yang mendesak untuk dibenahi. Ancaman kerusakan laut diantaranya diakibatkan oleh praktik-pratik perikanan yang tidak ramah lingkungan (destructive fishing).
Destructive fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap atau alat bantu penangkapan ikan yang merusak sumber daya kelautan dan perikanan, seperti penangkapan ikan dengan menggunakan racun potas serta pengunaan bom[1].
Adapun dampak dari dari destructive fishing diantaranya:
Dahulu, Cipto sering mengajak wisatawan melakukan akitvitas diving di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Namun pada masa itu ia banyak menjumpai praktik destructive fishing.
“Setiap saya membawa orang untuk diving sering terdengar suara dentuman di bawah perairan. Kita tahu bahwa itu suara bom. Suara-suara ini sangat meresahkan para wisatawan yang sedang diving,” ujar pria asli Jawa Tengah ini.
Apabila kegiatan penangkapan ikan terus terjadi maka secara langsung berimbas pada habisnya sumber daya perikanan dan secara lambat laun berdampak terhadap hilangnya sumber mata pencaharian nelayan.
Menurut Cipto, alam dan manusia memiliki ikatan yang sangat penting. “Pentingnya berbisnis dengan memastikan alam yang terjaga. Kalau alamnya rusak saya tidak bisa berbisnis. Saya tidak bisa bawa orang bila alamnya rusak, tutup periuk nasi kalau alamnya rusak,” ucap Cipto.
Oleh karenanya, diperlukan pengelolaan dan pengembangan pariwisata bahari yang berkelanjutan. Pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan selain dapat meningkatkan perekonomian kawasan juga ikut memberikan implikasi positif bagi kelestarian lingkungan laut dan pesisir.
Pada tahun 2012, Cipto membangun Sea Communities. Sea Communities merupakan usaha sosial bagi penduduk desa Les untuk membangun kembali terumbu Les dan meningkatkan mata pencaharian penduduk desa melalui program kelautan, pengajaran bahasa Inggris, dan penjangkauan masyarakat.
Sea Communities lahir ketika Cipto membawa organisasi kelautan nirlaba Australia, DiVo (Dive Voluntourism) ke Desa Les. Mereka bekerja sama dengan Gede Yudarta, seorang pemuka adat Desa Les, dan koperasi nelayan Desa Les untuk membawa konsep kesukarelaan dalam upaya rehabilitasi terumbu karang yang dimulai oleh nelayan [2] . Adapun keberhasilan konsep Les telah dipelajari oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)/NGO[3].
Menurut Cipto motivasi orang berwisata terdiri dari empat tahapan.
Definisi dari Volunteer tourism (Voluntourism), pariwisata relawan adalah sebuah konsep wisata yang melibatkan para wisatawan untuk secara sukarela membiayai dan melakukan kegiatan sosial ataupun konservasi di berbagai belahan dunia[4] .
Tujuan Voluntourism untuk menyediakan perjalanan wisata alternatif yang berkelanjutan dan dapat membantu dalam pembangunan masyarakat, penelitian ilmiah atau restorasi ekologi. Para wisatawan memanfaatkan liburan mereka dengan kegiatan relawan dalam berbagai projek yang diminatinya. Selain itu, ada pula yang membiayai sendiri perjalanan dan bahkan dalam beberapa kasus memberi kontribusi finansial terhadap proyek yang dikerjakan[5].
“Saya ajak datang teman di Amerika ke Les, kemudian kita sama-sama memikirkan pariwisata yang lebih konkret, lebih serius. Kebetulan teman yang dari Australia memiliki travel agent yang mengembangkan produk voluntourism”, kata Cipto. Selain organisasi-organisasi luar, pengembangan wisata bahari di desa Les tidak terlepas dari ide-ide dan dukungan luas termasuk masukan dari Ruwi Telapak.
Saat ini, Desa Les telah bermitra dengan beberapa institusi pendidikan luar negeri di bidang penelitian scientific kelautan, seperti National University of Singapore (NUS), dan Carroll University (USA).
Keberhasilan Desa Les sebagai destinasi wisata bahari tidak terlepas dari peran masyarakat lokal atau nelayan Les yang berkomitmen untuk menjadikan daerahnya tetap lestari. Lewat alam yang terjaga banyak wisatawan yang datang berkunjung.
Di samping itu, pengembangan wisata Les tetap berdasarkan ciri khas masyarakat lokal atau nelayan sekitar. Menurut Cipto, nelayan tetaplah jadi nelayan dan pariwisata itu sebagai value added-nya.
“Jika Nelayan tidak ada maka pariwisata juga tidak berjalan. Aset saya adalah alam dan manusianya. Saya tidak bisa bawa orang bila alamnya rusak,” pungkas Cipto.
Catatan Kaki
adalah Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang berperan aktif dalam dalam pemantauan, pendampingan, dan mendorong perbaikan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Alamat. Jalan Sempur No.5 RT.01 RW.01 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. 16129, Indonesia
Telp. (+62) 251-8576-443 | Email. kaoem@kaoemtelapak.org
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.