Indonesia memiliki banyak agama leluhur yang masih menunggu pengakuan dari negara. Salah satunya adalah agama Kaharingan. Tahun 2015, Wancino, Anggota Kaoem Telapak, mendirikan Yayasan Kaharingan Institute untuk mengangkat identitas agama Kaharingan agar mendapat pengakuan.
Sejak berdirinya, Yayasan Kaharingan Institut rutin melakukan pemetaan untuk melindungi situs sacral agama Kaharingan. Wancino pun mengaku telah menjalin komunikasi dengan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), sebuah organisasi yang menjadi rumah bagi penghayat agama leluhur di Indonesia. Di Kalimantan Tengah, tempat Wancino tinggal, belum ada kantor cabang MLKI. “Mungkin ke depannya akan bergabung (ke MLKI – red)”, ungkapnya.
Wancino pun menambahkan kalau Yayasan Kaharingan Institut bergerak tidak hanya pada advokasi pengakuan agama Kaharingan, tetapi juga menjangkau persoalan lingkungan dan sosial. Misalnya, pemantauan hutan dan kegiatan amal. Dia juga mengatakan kalau Yayasan Kaharingan Institut telah mengalokasikan lahan sekitar 100 hektar untuk dibangun fasilitas pendidikan, Kesehatan, Auditoriun Orangutan, dan bank benih komoditas pohon ulin.
“Kaharingan sangat dikenal di Kalimantan, dulu disebut agama Helo,” ungkap Wancino. Dia pun mengatakan sebenarnya ada kesamaan ajaran antara agama kaharingan dengan yang lainnya. “Kami mempercayai adanya Tuhan, kehidupan sesudah mati, menjalani hidup dengan ikhlas,” ungkap Wancino. Kaharingan pun punya konsep hubungan secara vertikal yakni bagaimana manusia berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, dan hubungan secara horizontal yakni bagaimana manusia berhubungan dengan sesama manusia, alam, dan para leluhur.
Namun, situasi warga Kaharingan masih sulit di Indonesia. Tahun 2018, Majelis Agama Kaharingan Indonesia datang ke kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) . Pada pertemuan itu, warga Kaharingan melapor kalau mereka tidak bisa mencantumkan Kaharingan di kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) mereka. Warga Kaharingan pun mengaku dipaksa untuk masuk ke dalam salah satu agama yang resmi diakui pemerintah.
Hal ini pun menjadi kegelisahan Wancino. Banyak pihak yang tidak mengerti perbedaan antara ritual agama dan tradisi. Sehingga banyak yang terkecoh, lalu menempatkan ajaran Kaharingan hanya sebatas tradisi. Hasilnya, tidak sedikit orang Dayak yang di KTP tertulis agama yang diakui, namun sehari-hari masih mempraktikkan Kaharingan. “Pilih saja agama mana, jangan dicampur aduk,” kata Wancino.
Di dunia pendidikan pun, pembinaan agama Kaharingan belum tersedia. Wancino bercerita anaknya yang dulu duduk di bangku sekolah terpaksa harus mengikuti pelajaran salah satu agama yang diakui pemerintah. Padahal mestinya sekolah punya mekanisme lain, agar anaknya tetap bisa mengakses pelajaran agama Kaharingan. “Seharusnya kalau tidak mau masukkan ke agama lain, sekolah harus punya cara lain untuk menilai,” ujar Wancino.
Oleh sebab itulah, Wancino berharap pemerintah bisa membuka akses pembelajaran agama Kaharingan dan menjalankan amanat kebebasan beragama yang telah tercantum dalam konstitusi secara konsekuen. “Jalankanlah perintah kebebasan beragama dan berikan akes pendidikan agama di sekolah-sekolah publik,” kata Wancino.
adalah Organisasi Non-Pemerintah (NGO) yang berperan aktif dalam dalam pemantauan, pendampingan, dan mendorong perbaikan kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Alamat. Jalan Sempur No.5 RT.01 RW.01 Kelurahan Sempur, Kecamatan Bogor Tengah, Kota Bogor Bogor, Jawa Barat. 16129, Indonesia
Telp. (+62) 251-8576-443 | Email. kaoem@kaoemtelapak.org
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.
Kecuali dinyatakan lain, seluruh konten di situs ini dilindungi di bawah lisensi Creative Commons Attribution 4.0 International license. Ikon oleh The Noun Project.