Donasi

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

BERJUANG UNTUK KEADILAN EKOLOGI

berjuang untuk keadilan ekologi

Antropologi untuk Memahami Masyarakat

Pemahaman akan budaya masyarakat menjadi penting bila ingin melakukan inisiatif program. Bagi Ery Damayanti, anggota Kaoem Telapak, Antropologi adalah salah satu ilmu yang dapat membantu memahami masyarakat lebih baik.

Ery Damayanti lahir di Jakarta. Sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dia sudah aktif melakukan ekspedisi pengamatan alam di Klub Indonesia Hijau. Dari organisasi itulah, Ery mulai banyak mengenal rekan senior yang bekerja di isu lingkungan.

Menjelang lulus S1 Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Ery bekerja di Global Enviroment Facility Small Grant Programme (GEF-SGP) di tahun 1993. Saat itu GEF baru memulai kerjanya di Indonesia. GEF-SGP adalah program yang memberikan dukungan finansial dan teknis kepada kelompok masyarakat sipil lokal dan organisasi berbasis komunitas untuk mengembangkan dan menerapkan aksi inisiatif lokal untuk menghalau masalah lingkungan, juga meningkatkan penghidupan serta menekan kemiskinan.

Di 2005, setelah bekerja selama lebih dari sepuluh tahun, Ery merasakan ada yang kurang. “Ilmu saya kok kurang banyak nih,” ungkapnya. Kesadaran ini Ery dapatkan setelah dia banyak bekerja dengan masyarakat. Menurut Ery, banyak hal yang terjadi di masyarakat yang tidak dia mengerti. Misalnya, dalam bentang garis pantai yang sama, tiap desa punya budaya yang berbeda. Mulai dari bentuk perahu, penyebutan bagian kapal, ritual terhadap laut, tiap desa berbeda meskipun masih dalam satu garis pantai.

Erry Damayanti, Member of Kaoem Telapak

Ditambah lagi, perbedaan menangkap komoditas laut. Ada satu titik wilayah jago menangkap lobster, di titik lain penduduknya ahli menangkap ikan. “Perlu ada penjelasan mengapa masyarakat membagi dirinya seperti itu, apakah ini diwariskan oleh leluhur, atau bentuk adaptasi mereka terhadap alam?” tanyanya pada diri sendiri.

Oleh sebab itulah, Ery memutuskan untuk kuliah S2 di jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Ery pun mengambil konsentrasi pada isu masyarakat pesisir dan pulau kecil, karena dia sangat suka laut dan pantai. “Saya harus memahami manusia, masyarakat, di mana saya bekerja,” katanya.

Setelah lulus S2 Antropologi di 2008. Ery mulai menerapkan ilmu untuk menajamkan analisanya mengenai apa yang terjadi di masyarakat secara umum. Dia pun semakin yakin bahwa mengenal masyarakat tidak cukup dengan sekali datang, namun harus dalam satu siklus.

Menurut Ery, perilaku masyarakat selain bergantung pada budaya, bergantung pula pada musim. Yang masyarakat dapatkan pada musim tertentu, akan berpengaruh pada apa yang masyarakat lakukan. Misalnya, saat musim panen, ketika bahan makanan melimpah, akan ada pernikahan atau perayaan panen. Sebaliknya, ketika tabungan habis, bahan makanan menipis, masyarakat akan menjual barang berharga atau tanahnya, atau berhutang pada aktor lokal misalnya rentenir. “Hal seperti itu perlu diketahui bila ingin menyusun program,” ujarnya.

Ery pun mengatakan bahwa bila ingin melakukan program intervensi, maka harus sesuai dengan siklus masyarakat tersebut. Tujuannya, agar program berjalan tepat sasaran.

“Contohnya, kalau mau buat program pertanian, maka tidak bisa menerapkan program saat musim kering, atau memberikan bibit yang tidak bisa ditanam di tanah masyarakat,” ungkapnya. Oleh sebab itu, bagi Ery, perlu mengetahui bagaimana masyarakat menghadapi cuaca, bersikap, dan mendapatkan solusi, “Itu yang harus dipahami sebelum menyusun program,” kata Ery.

Ery menyebut salah satu contoh saat tsunami Aceh di 2004, banyak bantuan perahu untuk masyarakat pesisir di provinsi itu yang tidak tepat, tidak bisa digunakan, karena tidak mengakomodir kondisi bentang alam lautnya, misalnya gelombang dan arus. “Ternyata ilmu Antropologi itu salah satu ilmu yang memang bisa membantu memahami kebutuhan masyarakat. Antropologi membantu banget buat saya memahami,” ungkapnya.

Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email
Print