Jakarta, 2 November 2004. Sebuah laporan lengkap mengenai kerusakan terumbu karang karena racun sianida dan kelemahan penegakan hukum di sektor kelautan telah diluncurkan oleh sebuah LSM pemerhati laut. Penanganan masalah ini dianggap sebagai hal penting yang perlu diprioritaskan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dalam agenda kerja 100 hari pertamanya.
Terumbu karang Indonesia yang diperkirakan mencapai luasan 51.000 km2 atau setara dengan 18% terumbu karang di dunia kini sedang terancam keberadaanya. Aset utama sumberdaya laut Indonesia ini telah dirusak melalui usaha perikanan dengan biaya murah. Penangkapan ikan dengan cara merusak, seperti bom dan sianida adalah penyebab utamanya. Usaha perikanan ini selain berdampak langsung kepada ikan-ikan target, berdampak sangat buruk bagi ekosistem dimana ikan tersebut berada. Juvenile atau anak-anak ikan serta biota kecil lainnya ikut mati akibat terkena racun. Demikian pula halnya dengan terumbu karang yang memutih dengan cepat dan selanjutnya mati.
Berdasarkan data hasil monitoring Telapak sepanjang tahun 1998-2002 , setidaknya dijumpai sekitar 80 % hasil tangkapan ikan hias dan ikan hidup konsumsi ditangkap dengan menggunakan racun sianida. Sementara itu sekitar 80% produk ikan hias dan 50% ikan konsumsi hasil penangkapan tersebut juga mengalami kematian saat berada di penampungan maupun dalam perjalanan (transportasi) menuju tempat tujuannya.
Dalam laporan terbarunya bertajuk “Semprotan Maut di Nusantara“, Telapak juga mengungkapkan bahwa penegakan hukum yang lemah, KKN dan kemiskinan nelayan di Indonesia menjadi sumber dari terus berlangsungnya kerusakan dan degradasi terumbu karang Indonesia. Kondisi ini semakin diperparah oleh ulah oknum-oknum petugas baik dari AL maupun Airud yang memanfaatkan kesempatan ini untuk menarik keuntungan pribadi dengan menjalankan operasi pengawasan perairan dengan tujuan hanya untuk meminta upeti dari nelayan-nalayan yang bersangkutan.
“Dari beberapa kasus yang kami temukan, setiap kapal nelayan yang beroperasi harus mempersiapkan paling tidak lima juta rupiah untuk upeti pada Angkatan Laut dan Airud, ujar M. Imran Amin, Koordinator Program Monitoring Laut Telapak Lebih lanjut Imran menambahkan, “Bahkan kadangkala nelayan kecil dengan perahu tak bermesin pun masih tega diperas oleh segelintir aparat tersebut.”
Aktifitas penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dan KKN yang terjadi merupakan hal serius yang perlu mendapat perhatian khusus dari Pemerintah. Kedua hal tersebut juga berperan dalam menciptakan kemiskinan akut bagi nelayan karena menurunnya hasil tangkapan. Telapak sangat mengharapkan adanya perhatian Pemerintah pada penyiapan paket peningkatan kesejahteraan nelayan, perlindungan hukum bagi nelayan, pemberian insentif pada hasil tangkapan ramah lingkungan, serta penyiapan model penangkapan alternatif yang dapat diterima ekonomi maupun sosial di tingkat nelayan. “Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru perlu mengagendakan penanganan serius terhadap masalah ini pada 100 hari pertamanya dalam kabinet baru,” tegas Direktur Eksekutif Telapak Ridzki R. Sigit.
KONTAK
- Ridzki R. Sigit : (HP) +62 081 61325727 – e-mail: rrsigit@kaoemtelapak.org
- M. Imran Amin : (HP) +62 811 112321 – e-mail: ranamin@kaoemtelapak.org
Catatan untuk Editor
- Lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia adalah nelayan yang secara ekonomi sangat subsisten dan mengandalkan hidupnya dari hasil tangkapan laut.
- Sianida (Potassium cyanide) sangat mudah didapatkan dengan harga rata-rata berkisar antara Rp 40,000 – Rp 50,000 per kilogramnya.
- Kematian karang racun sianida akibat satu kali semprotan sianida (sekitar 20 cc) dapat mematikan terumbu karang seluas 5×5 m2 dalam waktu 3-6 bulan, sedangkan daya regenerasi untuk mengembalikan terumbu karang ke kondisi aslinya dibutuhkan puluhan hingga ratusan tahun.
- Saat ini diperkirakan hanya tersisa 6% terumbu karang Indonesia yang masih dalam kondisi sangat baik
- Penangkapan ikan dengan menggunakan sianida telah berlangsung sejak awal tahun 1980-an, yang diadopsi oleh nelayan Indonesia dari para nelayan Filipina. Menyebar dari Sulawesi Utara berjalan seiring dengan menipisnya stok ikan dan meningkatnya permintaan pasar internasional.
- Sejak tahun 1998, Telapak bersama mitra-mitranya yang tergabung dalam Program Monitoring Laut (ProMOLA) bekerja melakukan investigasi destructive fishing dan mempromosikan metode penangkapan alternatif bebas sianida.
- Telapak adalah sebuah organisasi lingkungan non-profit independen yang berbasis di Bogor, Jawa Barat – Indonesia.