Oleh : Teguh Iman Affandi
Perempuan sering kali menjadi pihak pertama yang merasakan dampak dari degradasi lingkungan. Ketika sumber air hilang akibat aktivitas pertambangan, misalnya, kelompok perempuanlah yang merasakan sulitnya menyediakan air masak untuk keluarga.
Dalam perkembangannya, gerakan feminisme mengenal istilah ekofeminism. Istilah itu merupakan gabungan dari kata ecological dan feminism, lalu di-Indonesia-kan menjadi ekofeminisme. Di laman Magdalene.co, Saras Dewi, Akademisi dari Universitas Indonesia menjelaskan bahwa penggabungan ekologi dengan feminisme didasarkan pada perenungan bahwa dominasi dan diskriminasi yang dialami oleh lingkungan hidup dan perempuan berasal dari akar masalah yang sama, yakni; budaya patriarki.
“Perempuan merupakan korban dari sistem yang bertumpu pada ketimpangan dan eksploitasi,” ujar Saras Dewi. Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa gerakan ekofeminisme merupakan bentuk protes dari ketimpangan tersebut. Oleh sebab itu, Saras Dewi berkesimpulan bahwa perjuangan untuk bumi, hakikatnya adalah perjuangan demi keadilan dan kesetaraan sosial-ekologis.
Lalu, Saras Dewi memaparkan bahwa ancaman krisis air akibat aktivitas penambangan karst di Gunung Kendeng merupakan ancaman untuk semua masyarakat. Namun para petani perempuan merasakan ketidakseimbangan tersebut sebagai suatu pengalaman yang nyata, yang mereka hadapi sehari-hari. Para petani perempuan itu dekat dan paham akan pentingnya air dan menjaga sumber mata air.
Untuk menjaga keseimbangan alam dan kesejahteraan perempuan, Saras Dewi menjelaskan bahwa bagi ekofeminisme, persoalannya itu sistemik, terkait dengan cara pandang ekonomi, sosial, dan politik, yang selalu mengutamakan aksi diskriminasi, kompetisi, dan kekerasan. “Ekofeminis ingin merombak sistem tersebut, bagaimana tidak lagi ada hierarki antara manusia dan alam, ataupun kelas antarmasyarakat,” ujarnya.
Saras Dewi berpendapat, perubahan yang ingin dicapai oleh ekofeminisme harus dilakukan secara politis. Perjuangannya melalui transformasi budaya yang bergerak ke arah keadilan ekologis atau keberlanjutan. Cara politis yang dilakukan pun harus merupakan transformasi politik yang meninggalkan cara pandang lama, khususnya pandangan yang memisahkan manusia dengan alam.
Banyak cara yang bisa digunakan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam menjaga alam. Saras Dewi kemudian memberikan contoh Gerakan Menenun yang digelorakan oleh Mama Aleta dari Nusa Tenggara Timur, yang sanggup mengusir industri pertambangan dari kampungnya. “Dari contoh ini, perlawanan terhadap ketidakadilan ekologis muncul dari kehidupan sehari-hari, melalui pola hidup etis yang peka terhadap keberlanjutan alam,” kata Saras Dewi.
Magdalene.Co. (2022, Februari 15). Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup. Diakses pada April 19, 2022, dari halaman https://magdalene.co/story/ekofeminisme-perempuan-dalam-pelestarian-lingkungan-hidup