Oleh: Teguh Iman Affandi
Sebanyak USD 18,25 miliar dari 10 bank di Indonesia mengalir ke 15 perusahaan yang diduga merusak lingkungan untuk kurun waktu 2016 – 2021. Bank Rakyat Indonesia menjadi kreditur terbesarnya.

Lahan gambut yang terdegradasi
Sumber : Pantau Gambut
Minggu, 11 Desember 2022, Pantau Gambut bersama Transformasi untuk Keadilan (Tuk) merilis hasil kajian bersama mengenai Pembiayaan Bank Plat Merah Kepada Perusahaan Perusak Ekosistem Gambut. Laporan ini menyebut Bank Rakyat Indonesia (BRI) telah menjadi debitur industri kelapa sawit, bubur kertas, dan kertas. BRI merupakan penyandang dana terbesar untuk sektor bisnis yang merisikokan hutan. Dalam rentang lima tahun, BRI telah menggelontorkan dana sebesar USD 4,22 miliar untuk pembiayaan yang berdampak pada kerusakan ekosistem gambut, dalam hal ini deforestasi, dan kegiatan yang menyebabkan kekekeringan pada lahan gambut.
Laporan ini juga menyebut bahwa risiko ini muncul karena nasabah korporasi yang mendapat dana dari BRI diduga ikut terlibat dalam kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015 dan 2019. Aktivitas produksi korporasi tersebut menyebabkan lahan gambut terbakar yang pada akhirnya perkontribusi pada krisis iklim, menyebabkan kematian dini dalam wilayah yang terdampak, kerugian ekonomi, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati yang ada di lahan gambut.

Sumber : Pantau Gambut
Ada lima korporasi yang menerima dana dari BRI. Korporasi yang penerima dana yang paling besar adalah Sinar Mas Group (SMG), dengan total pendanaan USD 3,2 miliar. Data yang diolah dari forestandfinance.org, menyebut 75% pendanaan yang didapat SMG digunakan untuk industri kelapa sawit. Dalam laporan tertulis bahwa hasil investigasi tahun 2020 terhadap semua perusahaan yang terkait dengan SMG, baik itu anak perusahaan ataupun berafiliasi khusus, menunjukkan pelanggaran berupa pemanfaatan lahan gambut yang berfungsi lindung untuk penanaman sawit ataupun akasia. Ditambah lagi, tidak adanya upaya restorasi gambut, pada daerah bekas terbakar maupun pada lokasi infrastruktur pembasahan gambut sesuai dengan dokumen perencanaan.
Menggunakan kriteria Environment, Social, and Governance (ESG), laporan ini menemukan hasil yang berbeda dengan klaim BRI terkait retorika keberlanjutan lingkungannya. Kebijakan ESG BRI untuk komoditas bubur kertas dan kertas mendapatkan nilai yang sangat buruk. Sementara itu, untuk komoditas kelapa sawit, kebijakan ESG BRI meraih skor medium.

Sumber: Pantau Gambut
Dalam siaran pers, Agiel Prakoso, peneliti Pantau Gambut, berkomentar, “Kenyataan dari laporan berkelanjutan yang diberikan BRI dan grup perusahaan sawit, bubur kertas, dan kertas yang sudah disebut, ternyata sangat berbeda dengan klaim ramah lingkungan yang mereka sampaikan.”
Dalam prospektus PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, yang dirilis pada 31 Agustus 2021, Sunarso selaku Direktur Utama BRI, menyampaikan bahwa semua investasi yang dilakukan BRI adalah ramah lingkungan. Dalam berbisnis pun BRI berkomitmen pada prinsip ESG. Sunarso menambahkan bahwa BRI akan membatasi kredit di sektor energi fosil, termasuk pertambangan batu bara dan minyak bumi. Aspek penilaian ESG pun ditambahkan oleh BRI untuk memberikan kredit pada korporasi kelapa sawit.

Tabel penilaian kebijakan ESG BRI di laman forestandfinance.org
Sebagai bank yang mendaku diri ramah lingkungan, laporan ini memberikan beberapa rekomendasi kepada BRI untuk;
- Memperkuat kebijakan pengaman ESG dengan mempertimbangkan peraturan pemerintah yang terkait perlindungan gambut
- Segera menyusun kebijakan ESG pada komoditas yang berisiko terhadap lingkungan
- Meningkatkan protokol verifikasi laporan berkelanjutan
- Meningkatkan prosedur keterbukaan informasi dan pengaduan
- Menghentikan pembiayaan apabila ditemukan pelanggaran lingkungan
Kordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, mengungkapkan bahwa perlunya BRI bersikap tegas kepada debitur yang merusak lingkungan. “Ketidakpatuhan debitur BRI terhadap kebijakan-kebijakan yang melindungi gambut harus disikapi dengan tegas oleh BRI, kebijakan pemberian kredit yang ketat terhadap industri yang berisiko pada kerusakan lingkungan harus diimplementasikan dengan sungguh-sungguh. Jangan sampai klaim komitmen terhadap prinsip ESG hanya sekedar “hiasan” pada laporan tahunan saja,” kata Iola.